Minggu, 20 Desember 2015

Interpreter Yang Memudahkan

Dimuat Selasar.com
Minggu, 20 Desember 2015 | 06.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Pernahkah kalian menjumpai dalam sebuah tayangan berita, debat pemilihan kepala daerah, talkshow, dan acara lain di televisi sebuah kotak kecil yang biasanya di pojok kiri atau kanan yang memperagakan gerakan tangan dengan cepat dan mimik yang ekspresif ? Ya itu interperter sign languange (ISL) atau penerjemah bahasa isyarat. Acara yang dilengkapi dengan ISL dimaksudkan agar teman-teman tunarungu dapat menikmati tayangan yang disiarkan. Ini penting dilakukan oleh stasiun TV karena dengan disediakannya ISL teman-teman tunarungu memperoleh kemudahan dalam mengakses informasi.
            Ada sebuah eksperimen kecil yang dapat kita lakukan. Pertama, tutup telinga kita dengan kapas atau dengan kedua telapak tangan kita. Kedua, simak sebuah berita di televisi. Pertanyaannya apa yang kalian ketahui ketika menyimak berita dengan posisi pendengaran tertutup? Apakah kalian dapat menangkap informasi yang disampaikan ? Ya, begitulah gambaran sederhana mengapa diperlukan interpreter. Terlalu memaksakan jika teman-teman tunarungu hanya menyaksikan gerakan mulut dari tampilan visual. Bukankah terlalu cepat dan rasanya teramat lelah untuk memperhatikan setiap gerak bibir.
          Interperter Sign Language memang diperlukan dalam setiap tayangan di televisi. Sepengamatan saya, Televisi Republik Indonesia atau TVRI menyediakan akses tersebut dalam setiap acara beritanya entah itu menggunakan sistem bahasa isyarat (SIBI) maupun bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) secara konsisten. Ini dapat dijadikan inspirasi stasiun televisi lain di Indonesia untuk menyediakan hal serupa. Penerjemah tidak harus dari guru SLB melainkan bisa dari organisasi difabel seperti Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) maupun dari orang yang mengerti bahasa dan komunikasi bahasa isyarat. Menjadi interpreter tidak boleh sembarangan, selain memperagakan gerakan tangan dengan cepat dan mimik yang ekspresif, sang interpreter juga harus diawasi oleh guru atau penasihat dari tunarungu untuk mencatat kalau ada yang salah.
            Saya pikir tidak akan menganggu jika setiap tayangan di televisi disediakan interpreter karena tidak terlalu memakan space yang banyak, iya kan ? Ini adalah salah satu bentuk pencerdasan bagi teman-teman tunarungu karena dengan begitu akan lebih terbuka akses informasi yang mereka dapat. Jika memang bahan pertimbangan bagi pihak stasiun televisi untuk menyediakan ISL karena minimnya sumber daya manusia untuk menyediakan hal tersebut solusinya dapat dengan memberikan semacam sub title seperti pada film-film. Janganlah kita berpikir hal ini akan menganggu tayangan apa yang kita tonton, berpikirlah agar akses informasi yang mereka dapatkan sama seperti kita. Sudah dijelaskan di atas kalau menjadi interpreter bisa dilakukan oleh siapa pun asal kita dapat menguasai bahasa dan komunikasi bahasa isyarat. Kita dapat belajar bahasa isyarat terlebih dahulu sebelum menjadi ISL. Tinggal bagaimana kemauan kita untuk mengambil peran ke sana. Salam Kesetaraan !


*Mahasiswa jurusan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang,
Pemerhati Difabel 

Senin, 14 Desember 2015

Pertemuanku dengan Mereka...


Oleh : Budi Wicaksono*


            Pagi ini aku begitu bersemangat karena akan berkunjung ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Putra Pertiwi, Tamanwinangun, Kebumen. Nyaris tepat 22 tahun, aku tahu keberadaan SLB tersebut tetapi belum satu kali pun berkunjung ke sana. Akhirnya hari ini diberikan kesempatan untuk berkunjung ke sana. Tanpa persiapan memang dan mendadak karena aku hanya mengabari mbak Utami, teman baik ku yang aku kenal lewat sosialisasi bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) kala itu. Bermodalkan sms, mbak Utami siap menemani petualanganku pagi itu.
            Bergegas motorku melaju ke SLB Putra Pertiwi, lokasinya memang tak jauh dari rumahku, hanya 5 menit sudah sampai. Di jalan sebelum masuk gerbang bertemu Wawan, salah seorang murid SLB di sana yang sedang membeli sayur. Langsung saja aku mengikuti motor Wawan dari belakang. Seusai memarkirkan motor, begitu takjubnya hati ini ketika berdiri tegak di SLB Putra Pertiwi. Hening, sunyi dan tentram itulah kesan pertama kali yang aku rasakan.
Foto bersama mereka (Wawan, Septi, Puji, Novi, Imam dan
Mbak Utami) 
     Mbak Utami pun menghampiriku, mengajak ku untuk ikut berkumpul dengan teman-teman yang lain. Ku tengok, ternyata Wawan dan teman-temannya sedang sarapan bersama. Sembari menunggu teman-teman selesai makan saya pun mulai membuka pembicaraan dengan mbak Utami. Tentunya bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) menjadi bahasa komunikasi andalanku, Ku tanyakan begini :
“Mbak, yang masak semua anak-anak?”
“Tidak, ibu asrama yang menyiapkan semua”
“Anak-anak di sini pada nginep di asrama, banyak mbak ?”
“Iya di asrama, banyak ini ada 9 di kamar perempuan dan 3 orang di kamar laki-laki sebelah sana”.
“Sudah banyak yang pulang, kan sudah libur, Mas”.
       Anak yang telah usai makan pun mulai gusar melihat aku berkomunikasi dengan mbak Utami, mungkin dalam benaknya ada orang baru siapa ya ? Mbak Utami pun memperkenalkan aku pada siswa-siswa di sana. Namanya Budi Wicaksono, dia normal. Rasa antusias langsung menyelimuti mereka yang baru bertemu dengan ku. Ku sapa mereka dengan bahasa isyarat, sepertinya mereka menyambut baik kedatanganku, Alhamdulillah.  
       Saya Septi, saya Ayu, saya Puji, saya Giar, saya Fia, saya Imam. Semua memperkenalkan satu persatu dan mengerubungiku. Saya bilang selesaikan makannya, lalu kita berkumpul bersama, kita akan belajar bersama. Mereka pun setuju dan bergegas menyelesaikan makan mereka.
        Di luar dugaan, padahal aku ke SLB hanya ingin melakukan observasi untuk penelitian skripsiku nanti, malah aku disiapkan sebuah ruangan untuk mengajar anak-anak di sana. Tanpa persiapan materi apapun, Bismillahirrahmanirrahim baiklah, karena anak-anak di sini masih susah dan malu untuk berkomunikasi maka hal pertama yang saya ingin ajarkan adalah bahasa isyarat. Sebelumnya saya menjelaskan terlebih dahulu, perbedaan bahasa isyarat yang mereka gunakan di sekolah dengan bahasa isyarat Indonesia.
      Well, dari sini saya menangkap beberapa catatan. Beberapa di antara mereka masih ada yang tidak mau menggunakan bahasa isyarat karena susah. Selain itu, mereka lebih nyaman untuk berkomunikasi secara oral dan memaksakan suara mereka keluar. Rasa percaya diri mereka pun belum terbentuk sama sekali, terbukti ketika disuruh untuk mempraktikan bahasa isyarat masih terkesan malu-malu kucing. Paling penting konsentrasi mereka dalam belajar bahasa isyarat Indonesia belum fokus, dijumpai masih ada yang bermain handphone sendiri, bergurau bersama teman daripada memperhatikan saya, sang tutor.
       Saya tidak akan menyalahkan mereka, justru saya harus mengeluarkan strategi khusus dan model belajar yang menyenangkan untuk mereka. Show up pun dimulai dengan menyelipkan games  dalam belajar bahasa isyarat Indonesia dinilai cukup berhasil. Evaluasi penguasaan bahasa isyarat pun saya lakukan per individu dengan melihat kemampuan dan daya tangkap mereka. Alhamdulillah , materi dasar seperti abjad, angka sudah mereka kuasai ditambah lagi bahasa isyarat yang sering digunakan sehari-hari saya bagikan mereka untuk dipelajari.
    Let’s move guys, itu yang selalu saya tekankan pada teman-teman tunarungu. Kita boleh menggunakan sistem bahasa isyarat (SIBI) untuk berkomunikasi. Tetapi, alangkah lebih bijak jika kalian berusaha menggunakan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO). Bukankah BISINDO merupakan bahasa ibu kalian dan identitas kalian ? Jangan ragu untuk belajar ya, itulah pesan yang saya utarakan kepada mereka. Saya juga menambahkan, jika teman-teman menggunakan BISINDO niscaya teman-teman normal bisa berkomunikasi dengan kalian. Jujur, menggunakan SIBI itu terlalu cepat dan susah untuk memahami apa yang kalian sampaikan.
       Lanjut lagi, saya katakan pada mereka kalau kalian harus memiliki rasa percaya diri. Semua sama, entah itu tunarungu maupun normal. Kita tidak boleh membeda-bedakan. Untuk memperkuat pesanku, saya putarkan sebuah video dari program peduli. Mereka kembali menyimak, kebetulan dalam tayangan tersebut ada interpreter sign languange (ISL) nya, mereka pun senang, dan menunjukkan jari tangan mereka pada bagian kotak kecil dibawah tayangan tersebut.
        Pembelajaran pun kembali berlanjut, kini saya mengeluarkan sebuah media, yakni kamus bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) yang dapat dipasang pada smartphone mereka. Saya tunjukkan kepada mereka, betapa penasaran dan antusiasnya mereka, sampai-sampai mereka antri untuk meminta kiriman kamus tersebut. Well, senang rasanya. Ku pinta mereka untuk belajar mandiri, agar belajarnya tidak terputus di hari itu saja.
      Kurang puas, tiba-tiba ada yang bertanya padaku begini : “ Teman tuli, apakah bisa kuliah?” Kembali lagi saya harus mengahadpi pertanyaan seperti ini. Baiklah saya jawab dengan sebuah video dari Nur Latifah, mahasiswa tunarungu yang berhasil kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Video tersebut setidaknya dapat menjawab rasa penasaran mereka. Terinspirasi dari tayangan yang diputar, mereka pun menargetkan cita-cita. Ku tanya, apa cita-cita kalian ? Tak sedikit yang menjawab ingin menjadi guru, Subhanallah, bangganya hati ini mendengar jawab mereka. Giar, dan Fia siswa yang masih SD sudah kepikiran untuk mengajar adik-adiknya nanti di sana kelak.
       Saya pun diajak berkeliling sekolah. Diperlihatkan ruangan belajar mereka, dan diperkenalkan dengan kepala sekolah yang sangat ramah. Sempat mengobrol singkat dengan ibu Tri terkait keberadaan teman-teman tunarungu di SLB ini. Setiap lorong kelas mereka jelaskan padaku satu persatu. Tidaklah banyak kapasitas siswa untuk satu kelasnya. Ada 4-5 orang bahkan ada yang hanya 2 orang. Dalam hati kecilku berujar :” Betapa beruntungnya, dapat mengajari mereka dengan ekstra kesabaran. Dengan segala kekurangan yang mereka sandang, namun ada potensi yang mereka pendam.”  
        Saya pun takjub ketika melihat lemari koleksi piala, Subhanallah begitu bergetar hati ini, ada juara 1 Lomba Pantomim Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tahun 2015 yang baru-baru ini digelar diraih oleh Wawan. Dengan bangga Wawan yang saat itu mendampingiku pun menunjukkannya.
         Tiba-tiba ada pertanyaan muncul seperti ini, Bapak Budi besok jadi guru di sini saja ? Guru-guru di sini masih sedikit. Kami doakan supaya cepat lulus dan mengajar kami di sini. Tak bisa mengungkapkan apa-apa ketika mereka berharap lebih padaku, Insya Allah dan ku Amin-i  doa mereka. Belum puas, mereka pun memintaku untuk berkunjung kembali, belajar bersama. Sederhana, mereka ingin belajar design , membuat kartun dan menggambar.

Libur telah tiba...
Simpanlah tas dan bukumu
Sampai bertemu tanggal 4 Januari 2015 mendatang....
Ayu, Septi, Puji, Shidiq, Imam, Awal, Giar, Fia, Utami, Wawan, dkk..



-always smiling to inspire others 

Jumat, 04 Desember 2015

Refleksi Hari Difabel Internasional 2015


Dimuat Selasar.com
Kamis, 3 Desember 2015 | 15.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Setiap tanggal 3 Desember selalu diperingati sebagai Hari Difabel Internasional (HDI), dimana pada tanggal tersebut negara seantero dunia memperingatinya sebagai wujud kepedulian dan perjuangan kaum difabel dalam pemenuhan haknya, tak terkecuali Indonesia. Secara tegas Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan Resolusi Nomor A/61/106 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilitiy (CRPD) yang memuat hak-hak kaum difabel dan mengatur langkah-langkah untuk menjamin pelaksananaan konvensi tersebut. Mengingat pentingnya penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM bagi kaum difabel, pemerintah Indonesia pun menandatangani resolusi tersebut pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Tentunya komitmen ini dibuktikan dengan meratifikasi Konvensi tersebut dengan meratifikasi yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilitiy (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan telah disahkan pada 18 Oktober 2011. Regulasi hukum ini menjadi harapan bagi difabel di Indonesia untuk mendapatkan keadilan, kesetaraan dan terbebas dari diskriminasi.
            Meskipun konvensi Internasional maupun dalam konstitusi Indonesia telah tegas perlindungannya secara normatif, namun dalam kenyataannya, hak-hak kaum difabel di Indonesia masih mengalami perlakuan diskriminatif serta ketidakadilan.
Difabel, Apa itu ?
            Seiring dengan perkembangan sejarah perubahan sosial dari masa ke masa, pemahaman orang terhadap keberadaan penyandang cacat, kelompok berkebutuhan khusus, penyandang ketunaan, difabel, penyandang disabilitas atau yang secara internasional dikenal dengan disabled people atau persons with disability , atau istilah lain yang dimaksudkan untuk merujuk pada subyek yang sama pun telah mengalami banyak perubahan. Secara garis besar, ada beberapa konsep dalam perkembangan sejarah perubahan sosial serta teori difabilitas yang cukup dominan. Pertama, pandangan medis/ individual yang memandang kecacatan sebagai sebuah permasalahan individu. Kedua, konsepsi kecacatan sangat dekat dengan paham normalisme yang didesain oleh para profesional medis dengan standar-standar keilmuan secara sepihak. Ketiga, konsepsi kecacatan dinilai tidak konsisten dengan nilai teologis yang menempatkan manusis sebagai makhluk ciptaan yang memiliki derajat tertinggi sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka Tuhan tidak pernah salah dengan ciptaan-Nya. Melihat konsepsi kecacatan di atas, difabel (differently abled people) ditawarkan karena dipandang lebih mengakomodir serangkaian kritik, di samping juga upaya mendekonstruksi gambaran negatif dari konsepsi kecacatan atau penyandang cacat.
            Penggunaan istilah difabel mencoba melepaskan hubungan keterbatasan fungsi (fungsi atau mental), hambatan aktivitas serta ketidakberuntungan sosial. Konsepsi ini juga menggeser standar normalisme sebagai sebuah realitas. Lebih lanjut lagi konsepsi tentang difabel tidak menempatkan satu kelompok sebagai yang inferior dan yang lain sebagai superior. Istilah difabel secara obyektif dirasa lebih adil dengan mengedepankan paengakuan atas keberbedaan dan bukan ketidakmampuan atau kecacatan. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 mengatur penggunaan istilah difabel di Indonesia.
Stigma Negatif
            Masyarakat kita masih memandang difabel sebagai sebuah aib besar karena difabel identik dengan kecacatan yang disandangnya. Hal ini memicu prespektif masyarakat kalau difabel merupakan seseorang yang potensial bermasalah dan sepenuhnya mengharap belas kasihan dari orang lain. Stigma tersebut harus dirubah di masyarakat karena sejatinya difabel jika mendapatkan layanan pendidikan dan informasi secara tepat, maka potensi yang mereka miliki dapat berkembang secara optimal, perlu disadari juga kalau keterbatasan secara fisik tidak akan menghapus dan menghalangi hak mereka sebagai warga negara.
Menata Perjuangan Difabel
            Upaya melepaskan diri dari cara pandang masyarakat dan perlakuan yang diskriminatif tak khayal melahirkan perlawanan dari kaum difabel. Dinamika perjuangan kelompok difabel saat ini masih mudah dipecahbelah oleh berbagai kepentingan dari luar. Salah satunya melalui model yang menjebak terbentuknya pola pikir kaum difabel untuk selalu membuka tangan ke atas alias menjadi peminta belas kasihan dari orang lain. Memang hal ini tidak hanya terjadi pada kelompok difabel saja, kelompok miskin dan orang-orang yang sudah putus asa karena sistem yang tidak menguntungkan pun memilih sikap yang sama.
            Pendirian usaha bersama secara serius dan masif untuk kelompok difabel dengan pasar difabel yang jumlahnya jutaan orang sedikit membuka mata dan menjadi alat perlawanan yang ampuh terhadap kebijakan yang tidak masuk akal. Jelas hal ini merupakan bukti nyata program yang mampu menyelesaikan permasalahan difabel terkait keterbatasan akses ataupun masalah ketenagakerjaan. Tentunya jika perjuangan untuk memberikan kesejahteraan bagi sesama difabel, jiwa sukarela diperlukan untuk keberhasilan program bersama. Gagasan-gagasan baru yang kiranya dapat membangun kepentingan dan penyelesaian masalah difabel secara intens harus didorong dengan pemikiran yang matang. Dengan saling mengapresiasi dan menghargai dapat menjadi momentum utama dinamika kelompok difabel.
Mari kawal CRPD di Indonesia
            Convention on the Rights of Persons with Disability atau yang biasa kita kenal sebagai CRPD merupakan konvensi mengenai hak difabel yang telah mendapat status legal penuh pada bulan Mei 2008. Negara-negara yang telah menandatangani konvensi ini harus melaporkan setiap 4 tahun mengenai pemenuhan hak-hak difabel. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 dalam konvensi ini yakni negara wajib memajukan, melindungi dan menjamin pemenuhan secara menyeluruh dan seimbang semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang difabel untuk meningkatkan penghormatan bagi martabat yang melekat pada mereka. Adapun pemenuhan hak-hak difabel dalam berbagai aspek kehidupan yang termuat dalam CRPD antara lain :
1. Pendidikan Inklusif pada Pasal 24 CRPD
2. Kesehatan pada Pasal 25 CRPD
3. Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, serta Akses Terhadap Informasi pada Pasal 21 CRPD
4. Pekerjaan dan Lapangan Kerja pada Pasal 27 CRPD
5. Standar Kehidupan dan Perlindungan Sosial Yang Layak pada Pasal 28 CRPD
6. Partisipasi Dalam Kehidupan Politik dan Publik pada Pasal 29 CRPD.
            Bagaimana dengan negara kita, Indonesia ? Apakah negara kita konsisten dengan pemenuhan hak difabel ini ? Sekali lagi ingat setiap 4 tahun negara wajib melaporkan mengenai pemenuhan hak-hak difabel sebagai konsekuensi penandatanganan konvensi ini benar-benar dilaksanakan. Empat tahun lalu tepatnya 18 Oktober 2011 pada Sidang Paripurna DPR yang dihadiri seluruh fraksi dan Komisi VIII sepakat untuk mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilitiy (CRPD) sebagai undang-undang maka tiba saatnya di tahun 2015 ini, pemerintah Indonesia melaporkan pelaksanaannya dan merefleksi kembali hak-hak difabel apa yang belum terpenuhi, sudilah kiranya. Nothing about us without us. Selamat Hari Difabel Internasional Tahun 2015.

https://www.selasar.com/budaya/refleksi-hari-difabel-internasional-2015

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan 
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang 


Minggu, 22 November 2015

Pilkada Ramah Difabel

Dimuat Selasar.com
Kamis, 19 November 2015 | 20.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*


Tak lama lagi, bangsa kita akan menyelenggarakan perhelatan akbar pesta demokrasi yaitu pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada tanggal 9 Desember 2015. Sebuah momentum yang menentukan keberlanjutan pemerintahan daerah di negeri ini. Dalam perhelatan demokrasi ini, setiap warga negara wajib diakomodasi hak mereka dalam menyalurkan suara untuk memilih pemimpin yang dinilai layak untuk membawa daerahnya ke dalam kondisi pemerintahan yang lebih baik.
Namun, tidak dapat dipungkiri berbagai kelompok rentan seperti pemilih pemula, serta kelompok pemilih difabel acapkali terabaikan dalam proses penyelenggaraan demokrasi. Berbagai hambatan lingkungan maupun sosial seringkali mengabaikan proses penyelenggaraan pesta demokrasi ini.
Seharusnya kita memastikan agar akses informasi yang luas dapat tersampaikan dalam rangka mendorong partisipasi kelompok di atas sebagai pemilih cerdas yang dapat menggunakan hak pilih mereka secara cerdas.
Berdasarkan data ASEAN General Election for Disability Access (AGENDA), difabel di seluruh dunia tercatat mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara jumlah difabel di Asia Tenggara mencapai 90 juta orang dari 600 juta penduduk dan untuk Indonesia berdasarkan data Susenas tahun 2003 jumlahnya diperkirakan 2.454.359 jiwa.
Terkait data difabel memang masih mengundang banyak perdebatan karena jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibandingkan data tersebut. Oleh sebab itu, komisi pemilihan umum (KPU) seharusnya melibatkan mitra difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabel.
"Oleh sebab itu, komisi pemilihan umum (KPU) seharusnya melibatkan mitra difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabel"
Pertanyaannya adalah apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai  penyelenggara Pilkada Serentak nanti benar-benar siap mengakomodasi suara pemilih difabel mulai terkait soal lokasi tempat pemungutan suara (TPS) hingga bentuk bilik suara? Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan data pemilih difabel dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan menjadi basis data Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat pemungutan suara.
Belum dipisahkannya data pemilih difabel juga disebabkan oleh kurangnya kontribusi keluarga yang memiliki anggota difabel untuk mencakupkan pemilih difabel dalam Pilkada ini. Banyak keluarga yang menganggap difabel adalah “aib”. Hal ini terjadi mengingat kuatnya stigma negatif yang menempatkan warga difabel sebagai warga kelas dua.
Adapun beberapa kendala bagi pemilih difabel dalam Pilkada 9 Desember nanti di antaranya: lokasi TPS yang menyulitkan pemilih, minimnya data pemilih difabel yang berimplikasi pada minimnya sarana bag pemilih difabel, sosialisasi Pilkada bagi difabel yang kurang masif dan dengan menggunakan media yang kurang aksesibel serta terjaminnya kerahasiaan pilihan walaupun pemilih harus didampingi di bilik suara.
Bila kita mengabaikan beberapa catatan ini, itu berarti mencederai demokrasi kita. Bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Difabel yang berarti Indonesia harus siap menegakkan delapan prinsip CRPD yakni : penghormatan atas martabat yang dimiliki, otonomi dan kemandirian individu, non – diskriminasi, partisipasi secara penuh dan efektif, inklusi keikutsertaan masyarakat, penghormatan atas perbedaan dan penerimaan terhadap difabel sebagai bagian dari kemanusiaan dan keragaman manusia, kesempatan yang sama, aksesbilitas, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, penghormatan atas kapasitas anak difabel dan hak mereka untuk mempertahankan identitasnya.
Sekarang waktunya segenap pihak bersama-sama bergandeng tangan menyiapkan Pilkada Serentak 9 Desember  agar ramah dengan difabel dengan cara menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilihan agar lebih manusiawi. Pilkada yang manusiawi menciptakan inklusivitas dalam pemerintahan ke depan. Salam Kesetaraan! 
"Sekarang waktunya segenap pihak bersama-sama bergandeng tangan menyiapkan Pilkada Serentak 9 Desember  agar ramah dengan difabel dengan cara menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilihan agar lebih manusiawi"


*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Senin, 16 November 2015

Nothing about us without us




" Pertama kalinya ada kegiatan sosialisasi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)
di arena Car Free Day Alun-alun Kebumen. Mendapatkan antusias yang luar
biasa dari masyarakat
Semangat belajar ! "
Always smiling J




" Bertemu dengan teman baru, Nanda (kiri) dan Rima (kanan)
Nanda merupakan penyandang cerebral palsy ringan yang memiliki semangat belajar yang luar biasa
sedangkan Rima merupakan penyandang tunarungu yang memiliki semangat memberikan ilmu yang dimilikinyamengajarkan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO)."
Always smiling J

Surat Untuk Adik 2015 (Balasan 2) Esmiralda Laulu, Kabupaten Maluku Utara

Untuk  : Adik Esmiralda Laulu
Dari     : Kakak Budi Wicaksono
Halo adik Alda, salam kenal ya, kakak sudah menerima surat balasanmu, tulisanmu amatlah menawan dik, sungguh.


Wah senang rasanya membaca cerita adik tentang tradisi Tsonobak, semoga suatu saat kelak kakak bisa berkunjung ke desa adik, doakan ya ! Berbicara tentang cita-cita adik yang ingin menjadi seorang bidan, kakak sangat mendukung dan mendoakan semoga cita-cita adik dapat tercapai, belajar yang giat ya dik mulai dari sekarang. Semoga nanti adik bisa main ke pulau Jawa dan bisa bertemu dengan kakak. Berbicara mengenai cita-cita, kakak ingin bercerita nih dik tentang pengalaman kakak mengajar bersama teman-temanmu di Pasinaoan Lokadhita (tempat belajar bahasa daerah). Oh iya dik, kalau adik nanti ingin merantau ke pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah, adik pasti tidak akan asing dengan bahasa Jawa. Itu bahasa daerah kami, kalau di tempat adik bahasa daerahnya apa nih ? nanti ajarin kakak ya ?
Jadi di Pasinaoan Lokadhita, adik-adik belajar bahasa Jawa bersama, kami biasanya belajar di hari Sabtu atau Minggu. Oh ya rata-rata sama seumuran denganmu loh dik, ayo kapan-kapan kamu harus gabung ! Di sini kami belajar sambil bermain lho, seru kan ? Baru-baru ini kami belajar tentang angka. Kalau di bahasa Jawa sendiri, angka satu itu setunggal, dua itu kalih, tiga itu tigo, empat itu sekawan, lima itu gangsal, enam itu enem, tujuh itu pitu, delapan itu walu, sembilan itu sanga, sepuluh itu sedasa. Mudah kan dik ? Untuk mengingatnya kakak membuat sebuah permainan bersama adik-adik di Pasinaoan Lokadhita lho, mau tahu cara mainnya ? Gampang kok, lagunya begini kira-kira, pasti kamu bisa
Do – mi – ka – do – mi –ka – do – esktra
Ekstra – do – esktra – do – be – ya – be- yo
Hip- hip – setunggalkalihtigosekawangangsalenempituwalusangasedasa.
Begitu dik lagunya, kami melingkar dan tangan kami saling menepuk satu sama lain, seru kan ? kamu bisa praktekkan bersama teman-temanmu di sana, lho...

Oh ya setelah kami belajar angka dalam bahasa Jawa, kemudian kakak mengajak teman-teman di Pasinaoan Lokadhita untuk membuat burung dari kertas, untuk apa ? untuk menuliskan cita-cita kami setelah belajar. Kakak bercerita tentang cita-cita Alda pada teman-teman di sana, nah teman-teman di Pasinaoan Lokadhita pun memiliki cita-cita yang beragam lho, ada yang ingin jadi dokter, guru, perawat dan sebagainya, semua menuliskan cita-citanya di burung yang kami buat dari kertas untuk selanjutya kami gantungkan dengan benang agar bisa terbang, hehe...Seru kan ? kamu mau mencobanya ? Ayo ikut mencoba dik..nanti tuliskan cita-citamu di sana ya. Sekian dahulu cerita dari kakak, tentunya kakak menunggu balasan surat dari adik. Oh iya ada kenang-kenangan yang kakak kirimkan buat adik, semoga adik suka ya, salam untuk keluarga adik Alda. 


Minggu, 26 Juli 2015

Difabel Berwisata, Kenapa Tidak ?


Dimuat Selasar.com
Minggu, 26 Juli 2015 | 06.00 WIB 

Oleh : Budi Wicaksono*



         
         Saat musim lebaran seperti ini, umumnya masyarakat disibukkan dengan  ritual mudik ke kampung halaman. Setelah sampai di kampung halaman, biasanya mereka berkumpul bersama sanak famili setelah sekian lama tidak bertemu. Untuk melepas kepenatan dan rasa rindu, tempat wisata menjadi pilihannya. Tempat wisata di kala musim libur lebaran seperti saat ini diprediksi akan kebanjiran pengunjung dibandingkan dengan hari-hari biasanya.
Tahukah di balik euforia kita merayakan moment libur lebaran ke sejumlah tempat wisata, ada hal yang tidak kita pikirkan bahkan jarang untuk memikirkannya. Ya, nasib para penyandang difabel. Di moment liburan seperti saat ini, apakah mereka merasakan euforia yang sama dengan kita? Dapat mengunjungi tempat wisata bagi mereka seakan hanya mimpi di siang bolong.
Memberikan kesempatan difabel untuk berwisata dapat kita maknai dengan pemenuhan hak bagi mereka untuk berekreasi dan berinteraksi sosial. Namun yang menjadi permasalahan, terkadang mereka masih terpenjara oleh stigma dan pengucilan di masyarakat. Stigma negatif dari masyarakat umum tentang kekurangan yang disandang mereka yang dianggap merepotkan berujung pada dampak psikis bagi keluarga mereka untuk membawa dan mengajak berlibur ke tempat wisata. Rasa malu kerap menyelimuti mereka. Terlebih dengan pengucilan di masyarakat yang membuat penyandang difabel tidak leluasa untuk keluar rumah dan cenderung menutup diri di rumah.
Pengelola tempat wisata pun seakan menutup akses bagi penyandang difabel untuk berekreasi. Alasan yang mereka lontarkan biasanya karena belum adanya akses jalan khusus bagi si difabel, dengan kata lain tempat wisata belum bisa terakses oleh difabel. Ada beberapa tempat wisata memang yang dapat diakses oleh penyandang difabel seperti  kebun binatang, pantai, taman pintar, dan beberapa monumen. Tempat wisata yang disebutkan tadi sebenarnya secara tidak sengaja memiliki setting yang dapat diakses difabel sehingga tidak perlu menambahkan sarana akses tambahan.
Di Jakarta misalnya, ada Jakarta Barier Free Tourism sebuah komunitas yang digagas oleh Ibu Cucu Saidah dan Faisal Rusdi bagi penyandang difabel untuk kegiatan jalan-jalan. Komunitas ini dibangun dengan misi terhadap penyandang difabel dan masyarakat dari segala kalangan karena minimnya terhadap fasilitas dan perilaku publik yang kerap menjadi hambatan bagi penyandang difabel untuk menikmati kebebasan. Lewat kegiatan jalan-jalan ke tempat wisata mereka mengajak untuk berani keluar rumah dengan tetap mengomunikasikan bahwa mereka sejatinya adalah bagian dari masyarakat. Jakarta Barier Free Tourism merupakan salah satu contoh role model pergerakan peyandang difabel terhadap minimnya akses untuk menikmati tempat wisata. Ini dapat menjadi angin segar bagi teman-teman difabel tentunya, bukan begitu ?
Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga difabel, ajaklah mereka keluar untuk membuka diri dengan lingkungannya. Sejatinya ini akan menanamkan rasa percaya diri pada mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat. Teruntuk pengelola tempat wisata sudah seharusnya ada perhatian khusus untuk penyediaan akses bagi penyandang difabel. Intinya diperlukan komunikasi yang intens untuk membangun hal ini agar tidak ada salah persepsi di antara anggota masyarakat. Memberikan  pengertian dan edukasi kepada masyarakat terkait hal ini, dalam jangka panjang akan membuat mereka menerima dan tidak akan lagi anggapan yang menyatakan bahwa penyandang difabel adalah kaum yang aneh, lemah dan termarjinalkan, tetapi justru dapat saling berdampingan bahkan menguatkan satu sama lain. Selamat berlibur, salam kesetaraan untuk kita semua.

https://www.selasar.com/budaya/difabel-berwisata-kenapa-tidak

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang 

Kamis, 09 Juli 2015

Eksistensi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)

Dimuat di Selasar.com
Kamis, 09 Juli 2015 | 15.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Abjad Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang menggunakan kedua tangan
via id.wikipedia.org
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, melalui bahasa manusia dapat berinteraksi dengan manusia lainnya. Bahasa juga merupakan kunci penguasaan ilmu pengetahuan dimana ada proses pertukaran informasi yang dapat menambah pemahaman manusia akan sesuatu yang disampaikannya. Sama halnya dengan bahasa pada umumnya, bahasa isyarat tidak lepas dan tidak dapat dipisahkan dari penyandang tunarungu. Mengapa demikian ? Bahasa isyarat sangat penting karena membantu perkembangan bahasa, kognitif dan kematangan sosial penyandang tunarungu. Terlepas dari itu semua bahasa isyarat mengantarkan penyandang tunarungu untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan lingkungannya.
Di Indonesia ada dua bahasa isyarat yang digunakan. Pertama, Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau SIBI. Kedua, Bahasa Isyarat Indonesia atau BISINDO. Apa perbedaanya ? SIBI merupakan bahasa isyarat yang diciptakan oleh Alm. Anton Widyatmoko mantan kepala sekolah SLB / B Widya Bakti Semarang bekerjasama dengan mantan kepala sekolah SLB / B di Jakarta dan Surabaya tanpa melalui musyawarah dan persetujuan dari Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia atau GERKATIN yang pada akhirnya mengeluarkan sebuah produk kamus bernama SIBI. Kamus SIBI telah diterbitkan oleh pemerintah dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah khususnya SLB / B untuk penyandang tunarungu di Indonesia sejak tahun 2001. SIBI hanya dapat digunakan sebagai bahasa isyarat di sekolah dan tidak dapat dipergunakan sebagai bahasa isyarat komunikasi sehari-hari penyandang tunarungu dalam berkomunikasi.
SIBI tidak dapat digunakan dalam komunikasi sehari-hari penyandang tunarungu karena penerapan kosa kata yang tidak sesuai dengan aspirasi dan nurani kaum tunrungu, terlebih penerapan bahasa yang terlalu baku dengan tata bahasa kalimat bahasa Indonesia yang membuat kesulitan kaum tunarungu untuk berkomunikasi. Kemudian dalam SIBI ditemukan banyak pengaruh alami, budaya dan isyarat tunarungu dari luar negeri yang sulit dimengerti, sehingga memang benar SIBI sulit dipergunakan oleh kaum tunarungu untuk berkomunikasi.
Berbeda dengan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) yang belakangan ini mulai diperjuangkan oleh Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN). BISINDO merupakan bahasa isyarat alami budaya asli Indonesia yang dengan mudah dapat digunakan dalam pergaulan isyarat kaum tunarungu sehari-hari. Kecepatan dan kepraktisannya membuat kaum tunarungu lebih mudah memahami meski tidak mengikuti aturan bahasa Indonesia sebagaimana yang digunakan SIBI.
Contoh penggunaan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) 
via : https://www.youtube.com/watch?v=rgTv3eKQ9QI

Saat ini yang menjadi problem kaum tunarungu adalah penggunaan bahasa isyarat yang akan mereka pakai dalam berkomunikasi ada dualisme di sana. Melihat banyak kaum tunarungu yang kesulitan menggunakan SIBI maka secara tidak langsung mereka akan kembali menggunakan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) sebagai alat komunikasi sehari-hari. Perlu kita ketahui bersama, keberadaan BISINDO hampir selama 33 tahun tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Mengapa ? karena pemerintah hanya mengakui keberadaan SIBI sebagai bahasa isyarat kaum tunarungu. Padahal jelas, jika kita menilik dari proses penyusunan, SIBI sama sekali tidak melibatkan kaum tunarungu untuk menyusun bahasa isyarat.
Abjad Sitem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI)
yang menggunakan satu tangan
via id.wikipedia.org

Sekarang tidak perlu kita menyalahkan adanya SIBI karena di sekolah-sekolah khususnya SLB / B pun masih diajarkan dan digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam pendidikan. Yang menjadi fokus kita adalah bagaimana mengembalikan kembali eksistensi bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) dapat digunakan oleh kaum tunarungu tanpa adanya paksaan sehingga dapat digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Penulis secara sadar mengajak kepada para pembaca untuk ikut mengeksistensikan kembali bahasa isyarat Indonesia agar dapat digunakan sebagai alat komunikasi kaum tunarungu. Meskipun kita bukan penyandang tunarungu tetapi kita masih bisa belajar BISINDO, ya itu tadi karena kepraktisan BISINDO dibandingkan SIBI sehingga dapat dipelajari oleh siapa pun. Dewasa ini, BISINDO sedang gencar di sosialisasikan oleh Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) agar masyarakat umum tahu bahasa isyarat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan kaum tunarungu melalui kegiatan seminar dan pelatihan. Harapannya semakin banyak orang yang tahu dan bisa menggunakan BISINDO maka eksistensi bahasa isyarat alami budaya asli Indonesia ini tidak akan hilang keberadaanya. Mari dukung penggunaan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) agar diakui oleh pemerintah. Buka mata, buka hati untuk kesetaraan.
*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Founder Difable Care Community

Kamis, 02 Juli 2015

Surat Untuk Adik 2015 (Balasan 1) Esmiralda Laulu, Kabupaten Maluku Utara

Buat : Kakak Budi Wicaksono
Dari : Adik Esmiralda Laulu


Halo.... Kakak Budi.
Senang rasanya saat saya dapat menerima surat dari kakak Budi yang hebat. Cerita kakak sangat menarik dan gambar kakak di foto yang dikirim untuk saya sangat bagus. Oh iya perkenalkan nama saya Esmiralda Laulu, panggil saja Alda. Saya duduk di kelas 5 SD Kristen Adodo Molo. Jika sudah besar nanti memiliki cita-cita menjadi bidan, oleh karena itu saya harus rajin belajar dari sekarang.
Kalau kakak bercerita tentang aktivitas kakak, saya juga ingin bercerita tentang desa tempat saya tinggal. Saya tinggal di desa Adodo Molo, kecamatan Molo Maru. Ada satu tradisi yang khas di desa kami. Apakah kakak mau tau? Kalau mau tau datang ya ke desa kami karena dengan datang kakak akan merasakan sendiri. Tapi biar kakak tidak penasaran saya akan sdikit bercerita tentang tradisi dari desa kami.
Jadi di desa kami ada namnaya tradisi Tsnobak yaitu tradisi menyambut tamu luar desa yang baru datang untuk pertama kalinya ke desa kami. Ritual Tsnobak adalah ritual doa kepada nenek moyang yang dipimpin oleh ketua adat desa kami. Prosesnya kurang lebih seperti ini, sopi atau arak yang menjadi minuman adat didoakan oleh ketua adat kemudian disiramkan ke tanah. Setelah itu sisanya yang ada di dalam gelas diminum oleh tamu yang datang sampai habis. Tapi jika tamu tidak meminum minuman beralkohol, ketua adat hanya mempersilakan menempelkan gelas pada bibir seperti yang dilakukan para bapak guru kami dari Indonesia Mengajar yang datang biasanya tidak meminum minuman sopi saat Tsnobak.
Itulah sedikit cerita dari saya semoga kakak berkenan membacanya. Saya tunggu balasan dari kakak dengan cerita dari kakak yang lain lagi. Semoga kakak di sana baik-baik selalu. Doakan saya dapat mencapai cita-cita saya ya kak, biar suatu saat saya bisa pergi ke Jawa dan siapa tahu bisa bertemu dengan kakak.
Salam
Alda Laulu


Sabtu, 27 Juni 2015

Perguruan Tinggi Sudah Waktunya Inklusif


Dimuat dalam selasar.com
Sabtu, 27 Juni 2015 | 15:00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*



Pada musim pendaftaran mahasiswa baru seperti saat ini, entah itu Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) maupun Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) sedikit orang memperhatikan persyaratan khusus yang tertera dalam website pendaftaran mahasiswa baru.
Apakah kita tidak menyadari kalau adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa jika menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different ability people (difabel). Bagi kebanyakan orang normal seperti kita tidak menjadi masalah yang berarti, namun bagi teman-teman yang memiliki special need hal tersebut membuat mereka pesimis atas mimpi dan cita-cita mereka karena tidak adanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka secara tidak langsung terfilter oleh sistem tersebut dari awal.
"Apakah kita tidak menyadari kalau adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu,  dan tunadaksa jika menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different ability people (difabel)"
Negara dengan jumlah penduduk mencapai kurang lebih dua ratus tiga puluh juta jiwa ini belum memiliki data yang akurat untuk jumlah difabel. UCP Roda untuk kemanusiaan memperkirakan jumlah difabel di Indonesia mencapai 10% dari total populasi penduduk. Untuk jumlah anak-anak difabelnya sendiri mencapai 6,4 juta jiwa, mirisnya hanya sekitar 50.000 dari mereka yang dapat bersekolah. Tentunya jika situasi ini tidak berubah, bagaiaman nasib difabel Indonesia ke depannya ? Apakah mereka dapat berdaya ?
Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel. Dalam pasal 24 konvensi hak-hak difabel tentang pendidikan disebutkan setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah formal.
"Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel"
Salah jika kita menghambat difabel untuk memperoleh pendidikan atas alasan difabilitasnya yang dia sandang. Perlu digarisbawahi tidak semestinya setiap difabel belajar di sekolah khusus. Mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan bersekolah di sekolah yang dekat dengan lingkungan mereka, bersama dengan kawan sebaya, sepermainan tentunya dengan setting pendidikan yang inklusi.
Setting pendidikan inklusi yang mentransformasikan sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi peserta didik untuk berpartisipasi penuh memberikan kesempatan kepada difabel untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Adanya sekolah inklusi pada jenjang SD/MI , SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA membuktikan adanya komitmen dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sayangnya, setelah lulus dari jenjang tersebut teman-teman difabel sering dibenturkan pada pilihan sulit yakni bekerja, menganggur, atau melanjutkan studi.
Bagi teman-teman difabel yang ingin melanjutkan studi harus menjadi bahan pertimbangan karena masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memberikan akses pendidikan dan perhatian khusus pada difabel.
Perguruan Tinggi yang memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang. Kedua universitas tersebut tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan bagi teman-teman difabel namun juga aktif sebagai pelopor dalam bidang penelitian, kajian, dan pengabdian masyarakat kepada kaum difabel.
"Perguruan Tinggi yang memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang"
Melalui pusat studi layanan difabel atau yang biasa dikenal sebagai PSLD kedua universitas tersebut bergerak mengawali pendidikan inklusi. Sangat disayangkan jika dari sekian ratus perguruan tinggi di Indonesia, baru dua universitas yang mengawalinya. Keterbukaan menjadi syarat utama jika sebuah perguruan tinggi menginginkan menjadi inklusif. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas belajar serta pusat bantuan bagi difabel mendukung setting inklusivitas.
Pembatasan hak difabel dengan adanya persyaratan khusus masuk sebuah perguruan tinggi perlu kita tinjau ulang.  Bukankah dalam Undang-undang Nomor  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) mengamanatkan kalau setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, lebih lanjut lagi pada pasal 11, ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Jika undang-undang sudah mengamanatkan demikian bukan alasan lagi bagi kita untuk menciptakan perguruan tinggi inklusif selanjutnya.



*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Jumat, 22 Mei 2015

Universitas dan Disabilitas

Oleh : Budi Wicaksono*
           
            Sebulan lalu, saya berkunjung ke Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menjawab rasa penasaranku terhadap universitas inklusi. Ya, universitas yang terletak di Jalan Marsda Adisucipto membuatku kagum. Ketika melewati sepanjang jalan di area kampus, saya disuguhi pemandangan berbeda yang tak bisa ditemui di kampus lain. Hampir di semua sudut bangunan universitas tersebut dilengkapi akses jalan khusus yang ditandai dengan rambu sebagai penandanya. Ini namanya ramp, jalan khusus bagi pengguna kursi roda dan tunanetra. Lanjut lagi, sahabatku menunjukkan sebuah gedung bernamakan Pusat Layanan Difabel (PLD), ditempat itulah layanan terhadap difabel diberikan. Tidak hanya akademik, PLD tetapi juga mencaku juga melayani masalah admisi dan capacity building bagi difabel. 
Pusat Layanan Difabel 
            Memang dukungan dan bantuan lembaga perguruan tinggi terhadap dunia disabilitas di Indonesia masih tergolong rendah. Terbukti dari sedikitnya universitas yang memiliki layanan khusus untuk penyandang disabilitas. Menurut Mimi Mariani, seorang aktivis tunanetra mengatakan lemahnya pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap disabilitas di Indonesia karena minimnya perhatian dunia pendidikan. Aktivis penyandang dua gelar master dari Universitas Indonesia dan University of Leeds, Inggris ini menambahkan pendidikan mengenai disabilitas di luar negeri diberikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Untuk di perguruan tinggi misalnya, di semua jurusan pasti ada satu semester tentang disability dan wajib diambil. Beliau menambahkan kalau kuliah di hukum pasti ada Law and Disability, kalau kuliah di ekonomi ada Economy and Disability dan bila di manajemen pasti ada Management and Disability, sehingga setelah mereka lulus dari universitas sudah punya pengetahuan betul tentang disabilitas.
            Disadari atau tidak, agaknya benar disinilah kekurangan pendidikan kita. Bukan hanya akses dan layanan terhadap penyandang disabilitas, namun pemahaman terhadap disabilitas itu sendiri masih minim. Buktinya, universitas yang memiliki jurusan, pusat studi, atau layanan khusus terhadap penyandang disabilitas masih sangat jarang. Bahkan universitas terkemuka sekalipun belum punya layanan fasilitas. Beberapa universitas yang memiliki perhatian khusus terhadap disabilitas selain Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra (PUSYAN)
            Pusat layanan difabel di universitas yang memiliki perhatian khusus terhadap difabel berbeda satu sama lain. Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) misalnya, ada PUSYAN (Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra) yang merupakan bagian dari Laboratorium Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Fakultas Ilmu Pendidikan bekerjasama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI).
Menurut koordinator PUSYAN, lembaga pelayanan ini didirikan dalam upaya mengatasi kendala dan masalah yang dihadapi para mahasiswa tunanetra di sana. Berbeda kalau di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ada lembaga pelayanan untuk kepentingan disabilitas yang memiliki Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus (PSIBK).
Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus (PSIBK) 
Meskipun USD merupakan universitas swasta namun dengan konsisten menyelenggarakan pendidikan dan latihan guru untuk sekolah-sekolah luar biasa, terutama sekolah khusus tunarungu. Di Universitas Brawijaya Malang ada Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) yang berusaha memberikan layanan yang komprehensif, menjangkau semua persoalan yang dibutuhkan warga kampus penyandang disabilitas.
Pusat Studi Layanan Difabel 
            Saat ini dibutuhkan penyadaran di kalangan universitas terkait layanan untuk mahasiswa disabilitas. Empat universitas yang sudah memiliki pusat studi layanan difabel bagaikan setitik air ditengah lautan perguruan tinggi di Indonesia. Terlalu kecil kesempatan yang kita berikan untuk penyandang disabilitas menempuh pendidikan di universitas. Terlalu sedikit pula universitas yang memberi perhatian terhadap hak memperoleh pendidikan ini.
            Layanan terhadap mahasiswa penyandang disabilitas di universitas secara garis besar terdiri dari tiga bagian utama, yaitu lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan akademik. Sebagai contoh lingkungan fisik, dapat dimulai dengan membangun fasilitas berupa ramp sekeliling kampus bagi dan jalur bagi pengguna tongkat berjalan. Selanjutnya membangun lingkungan sosial yang ramah dan tidak menjadikan penyandang disabilitas terasingkan, misalnya dengan membangun fasilitas kantin yang ramah terhadap penyandang disabilitas agar tetap terjadi interaksi yang baik antar mahasiswa baik penyandang disabilitas maupun non disabilitas. Terakhir membangun lingkungan akademik antara pengajar, materi yang akan disampaikan kepada mahasiswa penyandang disabilitas dengan kurikulum yang menyesuaikan dengan penyandang disabilitas yang bersangkutan.
            Tentunya untuk merealisasikan aksi-aksi tersebut dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak yang terkait dengan kegiatan perkuliahan, mulai dari pengajar hingga semua staf yang ada di dalam kampus. Salam Kesetaraan !

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang

Minggu, 26 April 2015

Kebumen Muda, Inspirasi Muda

Post by :




BUDI WICAKSONO, PENGGAGAS KOMUNITAS PEDULI DIFABEL
Budi –sapaan akrab pria bernama lengkap Budi Wicaksono– adalah mahasiswa yang kini tengah menjalani studi di jurusan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, angkatan 2012. Dalam kehidupan sehari-hari, dia tampak biasa saja. Sebagai mahasiswa, dia menjalani berbagai pembelajaran perkuliahan, aktif berorganisasi di kampus, dan mengikuti kegiatan sosial. Di balik kesahajaannya, Budi memiliki langkah besar dan perhatian mendalam terhadap para difabel. Kepedulian tersebut diwujudkan melalui aksi nyata untuk kepentingan mereka.



Perkenalan dengan Difabel
Ketertarikan Budi terhadap difabel berawal dari keikutsertaanya dalam Kongres Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan se-Indonesia di Surakarta. Di sana, dia melihat banyak sekali problem pendidikan di Indonesia. Salah satu masalah yang dikaji adalah penyelenggaraan pendidikan khusus. Selain hadir sebagai peserta kongres, dia juga diundang dalam acara deklarasi Solo sebagai kota inklusi dan ramah anak. Hal itu menginspirasi pria kelahiran Kebumen, 25 September 1993, tersebut dalam membuat sebuah gerakan untuk difabel di tanah rantau Semarang. Pergerakan Budi dimulai dari kampus dengan menggagas komunitas peduli difabel. Awalnya, komunitas itu difokuskan untuk kegiatan pengabdian di beberapa sekolah luar biasa. Seiring berjalannya waktu, komunitas tersebut pun melayani mahasiswa difabel yang berkuliah di Unnes.
”Latar belakang terjun ke komunitas difabel adalah saya rasa tiada hidup yang sempurna. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Tinggal bagaimana cara kita mensyukuri pemberiaan Allah SWT. Salah satunya, berbagi dengan saudara-saudara kita yang memiliki different ability sehingga mereka mendapat aksesibilitas,” jelasnya.
Selain menggagas komunitas peduli difabel di kampusnya, Budi yang kini tengah disibukkan jadwal kuliah semester enam juga masih tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Kota Semarang (Gerkatin Semarang). Gerkatin Semarang sangat aktif dalam menyosialisasikan bahasa isyarat Indonesia (bisindo) yang dilaksanakan setiap pelaksanaan car free day. Selain itu, Gerkatin Semarang menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat dengan menjadi trainer (speaker) dalam pelatihan difabel.
Meski sibuk menjadi aktivis, si penyuka nasi goreng dan es teh tersebut sangat prestatif. Baru-baru ini, Budi masuk jajaran finalis mahasiswa berprestasi FIP Unnes dan meraih juara IV. Bahkan, makalah yang dia presentasikan tetap berkaitan dengan difabel. Dia mengangkat tema Media Pembelajaran untuk Menyosialisasikan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) kepada Teman-Teman Tunarungu. Sederet prestasi lain pun pernah ditorehkan Budi. Di antaranya, juara II lomba menulis esai blog Temu Inklusi dalam rangka Hari Difabel Internasional yang diselenggarakan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) Yogyakarta. Dalam lomba itu, dia mengangkat isu menggagas kampus inklusi. Dia beberapa kali didaulat untuk mengisi atau menjadi trainer dalam pelatihan yang diperuntukkan bagi kaum difabel di beberapa sekolah luar biasa (SLB). Dia juga merupakan salah seorang yang suratnya lolos dikirim ke NTT dengan inspirasi perjuangan difabel pada program Surat Untuk Adik (SUA) dari Youth’s Act for Indonesia (YAFI). Baru-baru ini, Budi bergabung dalam 50 mahasiswa inspirasi muda dan berkarya Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada bidang kajian difabel.


Meski menimba ilmu di tanah rantau dan aktif dalam berbagai komunitas di Semarang, Budi yang menghabiskan masa tumbuh usianya di Jalan Pemuda, Gang Mawar 10 B, RT 4, RW 3, Kebumen, tidak lantas melupakan tanah kelahirannya. Baru-baru ini, dia mengajar bisindo di komunitas difabel yang bernama Komunitas Difa. ”Saya terdorong mengajar bisindo di Komunitas Difa beberapa minggu lalu. Sebab, sejauh ini, belum ada sosialisasi penggunaan bisindo kepada masyarakat umum untuk berkomunikasi dengan penyandang tunarungu,” jelas Budi. Masalah itu disebabkan minimnya informasi tentang bahasa isyarat Indonesia. Padahal, komunitas difabel sewajarnya mengetahui penggunaan bisindo. Sebab, komunitas difabel menjadi awal mula pergerakan untuk difabel.
Komunitas difabel di Kebumen kurang masif dalam menyuarakan perjuangan dan pergerakan difabel. Hal tersebut disebabkan minimnya sumber belajar dan terbatasnya sumber daya manusia yang peduli dan terjun ke dunia difabel. Di kota lain, sudah tumbuh kesadaran untuk menggerakkan isu difabel dari penggerak-penggerak muda. Masalahnya, penggerak muda di Kebumen cenderung diam dan masih enggan menyuarakan isu itu. Ibu Iin –founder Komunitas Difa Kebumen– menyatakan, komunitas difabel di Kebumen hanya beranggota orang tua yang memiliki anak difabel. Mereka berkumpul untuk saling menguatkan satu sama lain tanpa adanya konsep kajian atau bahasan setiap kali berkumpul. Di kota lain, banyak sekali kaum muda yang merelakan waktunya untuk ikut menggerakkan isu difabel.

Harapan terbesar Budi untuk komunitas difabel di Kebumen adalah mampu menjadi motor penggerak dalam memasifkan isu difabel. Dengan begitu, keberadaan kaum difabel di Kebumen dapat diakui dan mereka bisa mendapatkan hak-haknya. Komunitas difabel di Kebumen juga diharapkan dapat menggugah masyarakat umum dengan prespektif yang lebih terbuka. Yaitu, masyarakat mau menerima keberadaan difabel dalam interaksi sosial. Dia berharap teman-teman muda di Kebumen ikut ambil bagian dalam membesarkan komunitas difabel yang sudah digawangi Ibu Iin. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan kegiatan yang bermanfaat bagi difabel di Kebumen. ”Nantinya, saya siap berbagi ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan di perantauan dengan kaum muda di Kebumen. Saya juga siap mengadakan kajian-kajian isu difabel dan pelatihan untuk difabel bersama Komunitas Difa di Kebumen. Saya berharap adanya komunitas difabel di Kebumen dapat memfasilitasi kebutuhan aksesibilitas difabel dalam menggagas Kebumen sebagai kabupaten yang ramah difabel,” ucapnya.
Pria yang memiliki hobi melukis, membaca, membaca puisi, dan menulis itu saat kecil bercita-cita menjadi arsitek. Seiring berjalannya waktu, dia menemukan apa yang menjadi fokus dan perhatiannya. Dia pun berharapan bisa mengembangkan model pembelajaran yang ramah bagi difabel. Kepada redaksi kebumenmuda.com, Budi menuturkan bahwa selama ini dirinya memiliki tokoh inspirasi. Yaitu, Ibu Een Sukaesih, guru qalbu yang mampu mengajar dengan segala keterbatasan. ”Yang beliau lakukan membuat saya kagum dan ingin menerapkan hal tersebut ketika saya menjadi pendidik,” tuturnya.
Di akhir perbincangan, Budi menyerukan slogan yang selama ini dia tulis. “Nothing about us without us”merupakan slogan perjuangan dan pergerakan difabel. Slogan tersebut memiliki filosofi yang sangat dalam. Yaitu, tentang diakui atau tidaknya para difabel saat mereka terlibat dalam sebuah kegiatan. Karena itu, difabel perlu diberi kesempatan dan keterlibatan untuk berinteraksi dalam kehidupannya.
”Makna kekuatannya dalam banget bagi saya. Kalimat tersebut mampu menjadi mantra agar aku tetap konsisten dan mampu berbuat lebih untuk difabel,” katanya.

Jumat, 17 April 2015

Surat Cinta Untuk Walikota Semarang

Kepada
Bapak Hendrar Prihadi, S.E, M.M
Walikota Semarang
Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Bapak Hendrar, apa kabar tuan ? semoga baik dan bahagia, sama sepertiku.
Tuan, ketika membaca surat ini, semoga tuan tersenyum dan kerutan di kening tuan berkurang. Kegelisahan memang selalu menghampiri setiap orang. Apalagi kepada pemimpin besar seperti tuan.
Apakah tuan tahu siapa diriku. Baiklah. Namaku Budi Wicaksono, seorang mahasiswa. Tenanglah tuan, jangan panik dan tegang dahulu mendengar statusku sebagai seorang mahasiswa. Jujur aku bukan mahasiswa yang senang ikut demonstrasi dan menuntut pemerintah tanpa solusi, percayalah.
Sekarang tuan bacalah surat cintaku. Cintaku bukanlah sekadar kata-kata. Bukan deretan orasi dan naskah berita. Tetapi cintaku ini adalah sebuah gagasan untuk Menuju Semarang Setara.
Ada gagasan yang ingin ku sampaikan sebagai upaya memberikan kontribusi untuk Semarang. Aku ingin menyuarakan hak teman-temanku penyandang disabilitas di Semarang. Begini tuan, Semarang merupakan kota besar yang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah. Hatiku iri melihat kota sebelah, sebutlah kota Solo mendeklarasikan sebagai kota inklusi dan layak anak. Inklusi merupakan sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan lingkungan yang semakin terbuka. Hal ini berarti bahwa adanya keterbukaan dan keramahan bagi semua, saling menghargai dan mengikutsertakan perbedaan karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.
Gagasan yang ingin ku kerucutkan di sini menyangkut persoalan pendidikan inklusif, tuan.Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun  2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pasal 3 ayat 2 Permendiknas ini menggolongkan siapa saja yang disebutkan memiliki keleluasaan dalam hal ini ada 10 kategori yakni : tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya memiliki kelainan lainnya, dan tunaganda.
Bukankah mereka bagian dari masyarakat Semarang juga, tuan ?  dan berhak atas pendidikan yang layak tanpa diskriminasi ? Tuan, pendidikan adalah salah satu jalan menjadikan individu sebagai agen perubahan, bukan sekadar penerima pasif program pemberdayaan. Merefleksi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa Sistem Pendidikan Indonesia harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tuan, di Jawa Tengah tercatat 47 sekolah luar biasa (SLB) swasta dan negeri yang tersebar di tingkat kota dan kabupaten di Jawa Tengah. Demikian halnya di Semarang, tercatat kurang lebih 8 SLB yang meliputi SLB swasta dan negeri. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam angka 2006 tercatat penyandang disabilitas secara keseluruhan mencapai 1570 jiwa dan akan terus meningkat. Melihat fenomena di atas perlu adanya relokasi dan penambahan sarana dan prasarana yang akan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Tuanku, saat ini keberadaan sekolah luar biasa (SLB) sudah tidak efektif lagi. Rasio jumlah penyandang disabilitas dan guru tidaklah seimbang seiring bertambahnya jumlah penyandang disabilitas. Selain itu, kondisi di SLB mengekslusifkan penyandang disabilitas sendiri dalam mendapatkan layanan pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan layanan pendidikan yang fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi hal tersebut.
Balai Pengembangan Pendidikan Khusus (BP-DIKSUS) Dinas Provinsi Jawa Tengah merilis ada 44 sekolah inklusi di Semarang. Dari jumlah ini tuanku, seharusnya dapat dimaksimalkan penyelenggaraannya untuk membantu penyelenggaraan sekolah luar biasa (SLB). Tuanku, aku ingin mengajak para orang tua yang memiliki anak difabel untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jujur saya ingin mengubah stigma negatif masyarakat tentang keberadaan teman-teman disabilitas yang sering dianggap lemah dan remeh. Saat ini yang kita butuhkan adalah proses sosialisasi kepada masyarakat terkait penyelenggaraan sekolah inklusi selain membenahi sarana dan prasarana pendukung di sekolah inklusi.
Tuanku, saya berkeyakinan bahwa pendidikan inklusif merupakan sarana hidup dan belajar cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Tuanku, saya sebagai mahasiswa siap untuk ikut andil bagian dari penyelenggaran pendidikan inklusif di Semarang, untuk Semarang yang setara. Hal sederhana yang dapat kita  dilakukan adalah mengkaji kembali regulasi, penyelenggaraan dan historis melalui focus group discussion yang melibatkan semua komponen masyarakat Semarang.
Di sebuah malam yang syahdu ini, Budi ingin mengajak tuan untuk mewujudkan gagasan dan harapan yang sudah ku sampaikan tadi. Aku ingin tuan tersenyum dan kening tuan tidak berkerut lagi. Aku tak ingin lagi melihat tuan panik mendengar kata mahasiswa. Karena aku di sini sadar, mahasiswa akan membantu pemimpinnya jika terjadi masalah di negeri ini. Saatnya mewujudkan Semarang yang setara, tuan. Sudah dahulu tuan, sekali lagi tersenyum ya, jangan gelisah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 15 April 2015
Di bawah sinar rembulan, salam hormatku untuk tuan

Budi Wicaksono  

Selasa, 10 Maret 2015

Saatnya Perguruan Tinggi Inklusif

Oleh : Budi Wicaksono*
            Pada musim pendaftaran mahasiswa baru seperti saat ini, entah itu Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) maupun Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) sedikit orang memperhatikan persyaratan khusus yang tertera dalam website pendaftaran mahasiswa baru. Apakah kita tidak menyadari kalau adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu, tunadaksa jika menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different ability people (difabel). Bagi kebanyakan orang normal seperti kita tidak menjadi masalah yang berarti, namun bagi teman-teman yang memiliki special need hal tersebut membuat mereka pesimis atas mimpi dan cita-cita mereka karena tidak adanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka secara tidak langsung terfilter oleh sistem tersebut dari awal.
           
          Negara dengan jumlah penduduk mencapai kurang lebih dua ratus tiga puluh juta jiwa ini belum memiliki data yang akurat untuk jumlah difabel. UCP Roda untuk kemanusiaan memperkirakan jumlah difabel di Indonesia mencapai 10% dari total populasi penduduk. Untuk jumlah anak-anak difabelnya sendiri mencapai 6,4 juta jiwa, mirisnya hanya sekitar 50.000 dari mereka yang dapat bersekolah. Tentunya jika situasi ini tidak berubah, bagaiaman nasib difabel Indonesia ke depannya ? Apakah mereka dapat berdaya ?
            Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel. Dalam pasal 24 konvensi hak-hak difabel tentang pendidikan disebutkan setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah formal. Salah jika kita menghambat difabel untuk memperoleh pendidikan atas alasan difabilitasnya yang dia sandang. Perlu digarisbawahi tidak semestinya setiap difabel belajar di sekolah khusus. Mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan bersekolah di sekolah yang dekat dengan lingkungan mereka, bersama dengan kawan sebaya, sepermainan tentunya dengan setting pendidikan yang inklusif.
            Setting pendidikan inklusif yang mentransformasikan sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi peserta didik untuk berpartisipasi penuh memberikan kesempatan kepada difabel untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Adanya sekolah inklusi pada jenjang SD / MI , SMP / MTs, dan SMA / SMK / MA membuktikan adanya komitmen dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sayangnya, setelah lulus dari jenjang tersebut teman-teman difabel sering dibenturkan pada pilihan sulit yakni bekerja, menganggur atau melanjutkan studi. Bagi teman-teman difabel yang ingin melanjutkan studi harus menjadi bahan pertimbangan karena masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memberikan akses pendidikan dan perhatian khusus pada difabel.

            Perguruan Tinggi yang memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang. Kedua universitas tersebut tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan bagi teman-teman difabel namun juga aktif sebagai pelopor dalam bidang penelitian, kajian, dan pengabdian masyarakat kepada kaum difabel. Melalui pusat studi layanan difabel atau yang biasa dikenal sebagai PSLD kedua universitas tersebut bergerak mengawali pendidikan inklusif. Sangat disayangkan jika dari sekian ratus perguruan tinggi di Indonesia, baru dua universitas yang mengawalinya. Keterbukaan menjadi syarat utama jika sebuah perguruan tinggi menginginkan menjadi inklusif. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas belajar serta pusat bantuan bagi difabel mendukung setting inklusivitas.
            Pembatasan hak difabel dengan adanya persyaratan khusus masuk sebuah perguruan tinggi perlu kita tinjau ulang.  Bukankah dalam Undang-undang Nomor  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) mengamanatkan kalau setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, lebih lanjut lagi pada pasal 11, ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Jika undang-undang sudah mengamanatkan demikian bukan alasan lagi bagi kita untuk menciptakan perguruan tinggi inklusif selanjutnya.

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan Angkatan 2012
Fakultas Ilmu Pendidikan
Aktif dalam Difable Care Community