Minggu, 20 Desember 2015

Interpreter Yang Memudahkan

Dimuat Selasar.com
Minggu, 20 Desember 2015 | 06.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Pernahkah kalian menjumpai dalam sebuah tayangan berita, debat pemilihan kepala daerah, talkshow, dan acara lain di televisi sebuah kotak kecil yang biasanya di pojok kiri atau kanan yang memperagakan gerakan tangan dengan cepat dan mimik yang ekspresif ? Ya itu interperter sign languange (ISL) atau penerjemah bahasa isyarat. Acara yang dilengkapi dengan ISL dimaksudkan agar teman-teman tunarungu dapat menikmati tayangan yang disiarkan. Ini penting dilakukan oleh stasiun TV karena dengan disediakannya ISL teman-teman tunarungu memperoleh kemudahan dalam mengakses informasi.
            Ada sebuah eksperimen kecil yang dapat kita lakukan. Pertama, tutup telinga kita dengan kapas atau dengan kedua telapak tangan kita. Kedua, simak sebuah berita di televisi. Pertanyaannya apa yang kalian ketahui ketika menyimak berita dengan posisi pendengaran tertutup? Apakah kalian dapat menangkap informasi yang disampaikan ? Ya, begitulah gambaran sederhana mengapa diperlukan interpreter. Terlalu memaksakan jika teman-teman tunarungu hanya menyaksikan gerakan mulut dari tampilan visual. Bukankah terlalu cepat dan rasanya teramat lelah untuk memperhatikan setiap gerak bibir.
          Interperter Sign Language memang diperlukan dalam setiap tayangan di televisi. Sepengamatan saya, Televisi Republik Indonesia atau TVRI menyediakan akses tersebut dalam setiap acara beritanya entah itu menggunakan sistem bahasa isyarat (SIBI) maupun bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) secara konsisten. Ini dapat dijadikan inspirasi stasiun televisi lain di Indonesia untuk menyediakan hal serupa. Penerjemah tidak harus dari guru SLB melainkan bisa dari organisasi difabel seperti Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) maupun dari orang yang mengerti bahasa dan komunikasi bahasa isyarat. Menjadi interpreter tidak boleh sembarangan, selain memperagakan gerakan tangan dengan cepat dan mimik yang ekspresif, sang interpreter juga harus diawasi oleh guru atau penasihat dari tunarungu untuk mencatat kalau ada yang salah.
            Saya pikir tidak akan menganggu jika setiap tayangan di televisi disediakan interpreter karena tidak terlalu memakan space yang banyak, iya kan ? Ini adalah salah satu bentuk pencerdasan bagi teman-teman tunarungu karena dengan begitu akan lebih terbuka akses informasi yang mereka dapat. Jika memang bahan pertimbangan bagi pihak stasiun televisi untuk menyediakan ISL karena minimnya sumber daya manusia untuk menyediakan hal tersebut solusinya dapat dengan memberikan semacam sub title seperti pada film-film. Janganlah kita berpikir hal ini akan menganggu tayangan apa yang kita tonton, berpikirlah agar akses informasi yang mereka dapatkan sama seperti kita. Sudah dijelaskan di atas kalau menjadi interpreter bisa dilakukan oleh siapa pun asal kita dapat menguasai bahasa dan komunikasi bahasa isyarat. Kita dapat belajar bahasa isyarat terlebih dahulu sebelum menjadi ISL. Tinggal bagaimana kemauan kita untuk mengambil peran ke sana. Salam Kesetaraan !


*Mahasiswa jurusan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang,
Pemerhati Difabel 

Senin, 14 Desember 2015

Pertemuanku dengan Mereka...


Oleh : Budi Wicaksono*


            Pagi ini aku begitu bersemangat karena akan berkunjung ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Putra Pertiwi, Tamanwinangun, Kebumen. Nyaris tepat 22 tahun, aku tahu keberadaan SLB tersebut tetapi belum satu kali pun berkunjung ke sana. Akhirnya hari ini diberikan kesempatan untuk berkunjung ke sana. Tanpa persiapan memang dan mendadak karena aku hanya mengabari mbak Utami, teman baik ku yang aku kenal lewat sosialisasi bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) kala itu. Bermodalkan sms, mbak Utami siap menemani petualanganku pagi itu.
            Bergegas motorku melaju ke SLB Putra Pertiwi, lokasinya memang tak jauh dari rumahku, hanya 5 menit sudah sampai. Di jalan sebelum masuk gerbang bertemu Wawan, salah seorang murid SLB di sana yang sedang membeli sayur. Langsung saja aku mengikuti motor Wawan dari belakang. Seusai memarkirkan motor, begitu takjubnya hati ini ketika berdiri tegak di SLB Putra Pertiwi. Hening, sunyi dan tentram itulah kesan pertama kali yang aku rasakan.
Foto bersama mereka (Wawan, Septi, Puji, Novi, Imam dan
Mbak Utami) 
     Mbak Utami pun menghampiriku, mengajak ku untuk ikut berkumpul dengan teman-teman yang lain. Ku tengok, ternyata Wawan dan teman-temannya sedang sarapan bersama. Sembari menunggu teman-teman selesai makan saya pun mulai membuka pembicaraan dengan mbak Utami. Tentunya bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) menjadi bahasa komunikasi andalanku, Ku tanyakan begini :
“Mbak, yang masak semua anak-anak?”
“Tidak, ibu asrama yang menyiapkan semua”
“Anak-anak di sini pada nginep di asrama, banyak mbak ?”
“Iya di asrama, banyak ini ada 9 di kamar perempuan dan 3 orang di kamar laki-laki sebelah sana”.
“Sudah banyak yang pulang, kan sudah libur, Mas”.
       Anak yang telah usai makan pun mulai gusar melihat aku berkomunikasi dengan mbak Utami, mungkin dalam benaknya ada orang baru siapa ya ? Mbak Utami pun memperkenalkan aku pada siswa-siswa di sana. Namanya Budi Wicaksono, dia normal. Rasa antusias langsung menyelimuti mereka yang baru bertemu dengan ku. Ku sapa mereka dengan bahasa isyarat, sepertinya mereka menyambut baik kedatanganku, Alhamdulillah.  
       Saya Septi, saya Ayu, saya Puji, saya Giar, saya Fia, saya Imam. Semua memperkenalkan satu persatu dan mengerubungiku. Saya bilang selesaikan makannya, lalu kita berkumpul bersama, kita akan belajar bersama. Mereka pun setuju dan bergegas menyelesaikan makan mereka.
        Di luar dugaan, padahal aku ke SLB hanya ingin melakukan observasi untuk penelitian skripsiku nanti, malah aku disiapkan sebuah ruangan untuk mengajar anak-anak di sana. Tanpa persiapan materi apapun, Bismillahirrahmanirrahim baiklah, karena anak-anak di sini masih susah dan malu untuk berkomunikasi maka hal pertama yang saya ingin ajarkan adalah bahasa isyarat. Sebelumnya saya menjelaskan terlebih dahulu, perbedaan bahasa isyarat yang mereka gunakan di sekolah dengan bahasa isyarat Indonesia.
      Well, dari sini saya menangkap beberapa catatan. Beberapa di antara mereka masih ada yang tidak mau menggunakan bahasa isyarat karena susah. Selain itu, mereka lebih nyaman untuk berkomunikasi secara oral dan memaksakan suara mereka keluar. Rasa percaya diri mereka pun belum terbentuk sama sekali, terbukti ketika disuruh untuk mempraktikan bahasa isyarat masih terkesan malu-malu kucing. Paling penting konsentrasi mereka dalam belajar bahasa isyarat Indonesia belum fokus, dijumpai masih ada yang bermain handphone sendiri, bergurau bersama teman daripada memperhatikan saya, sang tutor.
       Saya tidak akan menyalahkan mereka, justru saya harus mengeluarkan strategi khusus dan model belajar yang menyenangkan untuk mereka. Show up pun dimulai dengan menyelipkan games  dalam belajar bahasa isyarat Indonesia dinilai cukup berhasil. Evaluasi penguasaan bahasa isyarat pun saya lakukan per individu dengan melihat kemampuan dan daya tangkap mereka. Alhamdulillah , materi dasar seperti abjad, angka sudah mereka kuasai ditambah lagi bahasa isyarat yang sering digunakan sehari-hari saya bagikan mereka untuk dipelajari.
    Let’s move guys, itu yang selalu saya tekankan pada teman-teman tunarungu. Kita boleh menggunakan sistem bahasa isyarat (SIBI) untuk berkomunikasi. Tetapi, alangkah lebih bijak jika kalian berusaha menggunakan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO). Bukankah BISINDO merupakan bahasa ibu kalian dan identitas kalian ? Jangan ragu untuk belajar ya, itulah pesan yang saya utarakan kepada mereka. Saya juga menambahkan, jika teman-teman menggunakan BISINDO niscaya teman-teman normal bisa berkomunikasi dengan kalian. Jujur, menggunakan SIBI itu terlalu cepat dan susah untuk memahami apa yang kalian sampaikan.
       Lanjut lagi, saya katakan pada mereka kalau kalian harus memiliki rasa percaya diri. Semua sama, entah itu tunarungu maupun normal. Kita tidak boleh membeda-bedakan. Untuk memperkuat pesanku, saya putarkan sebuah video dari program peduli. Mereka kembali menyimak, kebetulan dalam tayangan tersebut ada interpreter sign languange (ISL) nya, mereka pun senang, dan menunjukkan jari tangan mereka pada bagian kotak kecil dibawah tayangan tersebut.
        Pembelajaran pun kembali berlanjut, kini saya mengeluarkan sebuah media, yakni kamus bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) yang dapat dipasang pada smartphone mereka. Saya tunjukkan kepada mereka, betapa penasaran dan antusiasnya mereka, sampai-sampai mereka antri untuk meminta kiriman kamus tersebut. Well, senang rasanya. Ku pinta mereka untuk belajar mandiri, agar belajarnya tidak terputus di hari itu saja.
      Kurang puas, tiba-tiba ada yang bertanya padaku begini : “ Teman tuli, apakah bisa kuliah?” Kembali lagi saya harus mengahadpi pertanyaan seperti ini. Baiklah saya jawab dengan sebuah video dari Nur Latifah, mahasiswa tunarungu yang berhasil kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Video tersebut setidaknya dapat menjawab rasa penasaran mereka. Terinspirasi dari tayangan yang diputar, mereka pun menargetkan cita-cita. Ku tanya, apa cita-cita kalian ? Tak sedikit yang menjawab ingin menjadi guru, Subhanallah, bangganya hati ini mendengar jawab mereka. Giar, dan Fia siswa yang masih SD sudah kepikiran untuk mengajar adik-adiknya nanti di sana kelak.
       Saya pun diajak berkeliling sekolah. Diperlihatkan ruangan belajar mereka, dan diperkenalkan dengan kepala sekolah yang sangat ramah. Sempat mengobrol singkat dengan ibu Tri terkait keberadaan teman-teman tunarungu di SLB ini. Setiap lorong kelas mereka jelaskan padaku satu persatu. Tidaklah banyak kapasitas siswa untuk satu kelasnya. Ada 4-5 orang bahkan ada yang hanya 2 orang. Dalam hati kecilku berujar :” Betapa beruntungnya, dapat mengajari mereka dengan ekstra kesabaran. Dengan segala kekurangan yang mereka sandang, namun ada potensi yang mereka pendam.”  
        Saya pun takjub ketika melihat lemari koleksi piala, Subhanallah begitu bergetar hati ini, ada juara 1 Lomba Pantomim Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tahun 2015 yang baru-baru ini digelar diraih oleh Wawan. Dengan bangga Wawan yang saat itu mendampingiku pun menunjukkannya.
         Tiba-tiba ada pertanyaan muncul seperti ini, Bapak Budi besok jadi guru di sini saja ? Guru-guru di sini masih sedikit. Kami doakan supaya cepat lulus dan mengajar kami di sini. Tak bisa mengungkapkan apa-apa ketika mereka berharap lebih padaku, Insya Allah dan ku Amin-i  doa mereka. Belum puas, mereka pun memintaku untuk berkunjung kembali, belajar bersama. Sederhana, mereka ingin belajar design , membuat kartun dan menggambar.

Libur telah tiba...
Simpanlah tas dan bukumu
Sampai bertemu tanggal 4 Januari 2015 mendatang....
Ayu, Septi, Puji, Shidiq, Imam, Awal, Giar, Fia, Utami, Wawan, dkk..



-always smiling to inspire others 

Jumat, 04 Desember 2015

Refleksi Hari Difabel Internasional 2015


Dimuat Selasar.com
Kamis, 3 Desember 2015 | 15.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Setiap tanggal 3 Desember selalu diperingati sebagai Hari Difabel Internasional (HDI), dimana pada tanggal tersebut negara seantero dunia memperingatinya sebagai wujud kepedulian dan perjuangan kaum difabel dalam pemenuhan haknya, tak terkecuali Indonesia. Secara tegas Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan Resolusi Nomor A/61/106 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilitiy (CRPD) yang memuat hak-hak kaum difabel dan mengatur langkah-langkah untuk menjamin pelaksananaan konvensi tersebut. Mengingat pentingnya penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM bagi kaum difabel, pemerintah Indonesia pun menandatangani resolusi tersebut pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Tentunya komitmen ini dibuktikan dengan meratifikasi Konvensi tersebut dengan meratifikasi yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilitiy (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan telah disahkan pada 18 Oktober 2011. Regulasi hukum ini menjadi harapan bagi difabel di Indonesia untuk mendapatkan keadilan, kesetaraan dan terbebas dari diskriminasi.
            Meskipun konvensi Internasional maupun dalam konstitusi Indonesia telah tegas perlindungannya secara normatif, namun dalam kenyataannya, hak-hak kaum difabel di Indonesia masih mengalami perlakuan diskriminatif serta ketidakadilan.
Difabel, Apa itu ?
            Seiring dengan perkembangan sejarah perubahan sosial dari masa ke masa, pemahaman orang terhadap keberadaan penyandang cacat, kelompok berkebutuhan khusus, penyandang ketunaan, difabel, penyandang disabilitas atau yang secara internasional dikenal dengan disabled people atau persons with disability , atau istilah lain yang dimaksudkan untuk merujuk pada subyek yang sama pun telah mengalami banyak perubahan. Secara garis besar, ada beberapa konsep dalam perkembangan sejarah perubahan sosial serta teori difabilitas yang cukup dominan. Pertama, pandangan medis/ individual yang memandang kecacatan sebagai sebuah permasalahan individu. Kedua, konsepsi kecacatan sangat dekat dengan paham normalisme yang didesain oleh para profesional medis dengan standar-standar keilmuan secara sepihak. Ketiga, konsepsi kecacatan dinilai tidak konsisten dengan nilai teologis yang menempatkan manusis sebagai makhluk ciptaan yang memiliki derajat tertinggi sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka Tuhan tidak pernah salah dengan ciptaan-Nya. Melihat konsepsi kecacatan di atas, difabel (differently abled people) ditawarkan karena dipandang lebih mengakomodir serangkaian kritik, di samping juga upaya mendekonstruksi gambaran negatif dari konsepsi kecacatan atau penyandang cacat.
            Penggunaan istilah difabel mencoba melepaskan hubungan keterbatasan fungsi (fungsi atau mental), hambatan aktivitas serta ketidakberuntungan sosial. Konsepsi ini juga menggeser standar normalisme sebagai sebuah realitas. Lebih lanjut lagi konsepsi tentang difabel tidak menempatkan satu kelompok sebagai yang inferior dan yang lain sebagai superior. Istilah difabel secara obyektif dirasa lebih adil dengan mengedepankan paengakuan atas keberbedaan dan bukan ketidakmampuan atau kecacatan. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 mengatur penggunaan istilah difabel di Indonesia.
Stigma Negatif
            Masyarakat kita masih memandang difabel sebagai sebuah aib besar karena difabel identik dengan kecacatan yang disandangnya. Hal ini memicu prespektif masyarakat kalau difabel merupakan seseorang yang potensial bermasalah dan sepenuhnya mengharap belas kasihan dari orang lain. Stigma tersebut harus dirubah di masyarakat karena sejatinya difabel jika mendapatkan layanan pendidikan dan informasi secara tepat, maka potensi yang mereka miliki dapat berkembang secara optimal, perlu disadari juga kalau keterbatasan secara fisik tidak akan menghapus dan menghalangi hak mereka sebagai warga negara.
Menata Perjuangan Difabel
            Upaya melepaskan diri dari cara pandang masyarakat dan perlakuan yang diskriminatif tak khayal melahirkan perlawanan dari kaum difabel. Dinamika perjuangan kelompok difabel saat ini masih mudah dipecahbelah oleh berbagai kepentingan dari luar. Salah satunya melalui model yang menjebak terbentuknya pola pikir kaum difabel untuk selalu membuka tangan ke atas alias menjadi peminta belas kasihan dari orang lain. Memang hal ini tidak hanya terjadi pada kelompok difabel saja, kelompok miskin dan orang-orang yang sudah putus asa karena sistem yang tidak menguntungkan pun memilih sikap yang sama.
            Pendirian usaha bersama secara serius dan masif untuk kelompok difabel dengan pasar difabel yang jumlahnya jutaan orang sedikit membuka mata dan menjadi alat perlawanan yang ampuh terhadap kebijakan yang tidak masuk akal. Jelas hal ini merupakan bukti nyata program yang mampu menyelesaikan permasalahan difabel terkait keterbatasan akses ataupun masalah ketenagakerjaan. Tentunya jika perjuangan untuk memberikan kesejahteraan bagi sesama difabel, jiwa sukarela diperlukan untuk keberhasilan program bersama. Gagasan-gagasan baru yang kiranya dapat membangun kepentingan dan penyelesaian masalah difabel secara intens harus didorong dengan pemikiran yang matang. Dengan saling mengapresiasi dan menghargai dapat menjadi momentum utama dinamika kelompok difabel.
Mari kawal CRPD di Indonesia
            Convention on the Rights of Persons with Disability atau yang biasa kita kenal sebagai CRPD merupakan konvensi mengenai hak difabel yang telah mendapat status legal penuh pada bulan Mei 2008. Negara-negara yang telah menandatangani konvensi ini harus melaporkan setiap 4 tahun mengenai pemenuhan hak-hak difabel. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 dalam konvensi ini yakni negara wajib memajukan, melindungi dan menjamin pemenuhan secara menyeluruh dan seimbang semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang difabel untuk meningkatkan penghormatan bagi martabat yang melekat pada mereka. Adapun pemenuhan hak-hak difabel dalam berbagai aspek kehidupan yang termuat dalam CRPD antara lain :
1. Pendidikan Inklusif pada Pasal 24 CRPD
2. Kesehatan pada Pasal 25 CRPD
3. Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, serta Akses Terhadap Informasi pada Pasal 21 CRPD
4. Pekerjaan dan Lapangan Kerja pada Pasal 27 CRPD
5. Standar Kehidupan dan Perlindungan Sosial Yang Layak pada Pasal 28 CRPD
6. Partisipasi Dalam Kehidupan Politik dan Publik pada Pasal 29 CRPD.
            Bagaimana dengan negara kita, Indonesia ? Apakah negara kita konsisten dengan pemenuhan hak difabel ini ? Sekali lagi ingat setiap 4 tahun negara wajib melaporkan mengenai pemenuhan hak-hak difabel sebagai konsekuensi penandatanganan konvensi ini benar-benar dilaksanakan. Empat tahun lalu tepatnya 18 Oktober 2011 pada Sidang Paripurna DPR yang dihadiri seluruh fraksi dan Komisi VIII sepakat untuk mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilitiy (CRPD) sebagai undang-undang maka tiba saatnya di tahun 2015 ini, pemerintah Indonesia melaporkan pelaksanaannya dan merefleksi kembali hak-hak difabel apa yang belum terpenuhi, sudilah kiranya. Nothing about us without us. Selamat Hari Difabel Internasional Tahun 2015.

https://www.selasar.com/budaya/refleksi-hari-difabel-internasional-2015

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan 
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang