Sabtu, 28 Februari 2015

Persembahan Terindah Untukmu Sahabat



Halo, adik ! Nama kakak Budi. Sekarang kakak sedang kuliah di Semarang. Nama kamu siapa ? Udah kelas berapa nih ? Adikku sayang, melalui surat ini kakak ingin berbagi pengalaman kakak dengan salah seorang sahabat kakak, Natalia namanya. Kebetulan sahabat kakak adalah anak berkebutuhan khusus, sehari-harinya dia menggunakan kursi roda.
Adikku sayang, bulan Desember lalu kakak memenangkan sebuah kompetisi menulis, dimana dalam kompetisi itu kakak diundang ke Jakarta untuk mengisi talkshow bersama kakak Choky Sitohang. Tulisan kakak menceritakan tentang perjuangan Kak Natalia dalam bersekolah. Perjuangan kak Natalia sangatlah luar biasa, di tengah keterbatasannya dia masih semangat untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang penerjemah. Lika-liku ketika Kak Natalia harus digendong ayahnya dari lantai kelas dasar menuju ruang kelasnya di lantai 3, setiap hari dik. Kursi roda kak Natalia kondisinya sudah usang, rodanya sudah mengelupas, untuk itu diperlukan pengganti. Berangkat dari alasan itu membuat kakak mengikuti kompetisi lomba menulis tersebut, kebetulan sekali hadiahnya dapat diwujudkan sesuai dengan keinginan kakak. Satu keinginan kakak yakni sebuah kursi roda elektrik untuk.
Tulisan yang kakak buat mampu membius para dewan juri dik, penyelenggara mengabarkan kalau kakak menjadi pemenang dan akan diundang ke Jakarta. Kakak senang sekali, seketika itu pun penyelenggara meminta kakak untuk mengajak kak Natalia turut serta ke Jakarta.  Ku kabarkan berita gembira ini pada ayah kak Natalia, kebetulan kak Natalia tidak mengetahui kalau aku mengikuti kompetisi lomba ini. Setelah semua izin beres, kakak, kak Natalia, dan ayah berangkat ke Jakarta. Kakak berencana ingin membuat sebuah kejutan untuk dirinya.
Ini adalah kali pertama bagi kak Natalia dan ayahnya pergi ke Jakarta menggunakan pesawat. Pancaran kebahagiaan tergambar jelas dari raut wajah kak Natalia. Pertama kalinya naik pesawat membuat kak Natalia sedikit grogi. Sesampainya di Jakarta kami dijemput untuk diantar ke hotel. Tiga mimpi kak Natalia berhasil kakak wujudkan yakni : makan mie ramen, naik pesawat dan menginap di hotel bersama, Alhamdulillah !

Pagi harinya, aku dan kak Natalia diwawancarai tentang kisah persahabatan kami oleh kak Choky Sitohang. Di sela-sela acara tersebut, kejutan sebuah kursi roda elektrik ku persembahkan untuk kak Natalia. Tak kuasa tangisan air mata ini menetes. Bahagianya kakak telah berhasil mewujudkan satu mimpi kak Natalia, sebuah kursi roda baru. Adikku, berbagi indah bukan ? Di tengah keterbatasan kak Natalia, dia masih memiliki semangat untuk meraih cita-citanya. Bagaimana dengan adik sendiri ? Ayo semangat, percayalah pada mimpi-mimpi adik, berbagi untuk sesama yang membutuhkan. Always smiling to inspire others.

Selasa, 24 Februari 2015

Terima kasih Sahabtku, Ganis


Sore ini aku mendapat kiriman sketsa wajah dari sahabatku, Ganis Lingga Untari dari Batam. Dia adalah penyandang tunarungu. Karyanya luar biasa, aku sangat suka. Nothing about us without us !


Keren ya ! Hasil sketch dengan pensil nih 



Hasil akhir nih :D 

Minggu, 22 Februari 2015

Ya, Aku Dyslexia !


            Empat tahun di Taman Kanak-Kanak (TK) bukanlah waktu yang singkat buatku, disaat teman-temanku sudah masuk sekolah dasar (SD), aku masih sibuk bermain di TK, begitulah. Dua tahun disekolahkan dalam kondisi kelas yang berbeda dan dipisahkan dari teman-teman yang lain, membuatku bertanya kala itu, mengapa ? Katanya usiaku masih belia dan belum pantas masuk TK, jawaban salah seorang guruku yang ku ingat. saat usia 4 tahun, aku sudah dimasukkan ke TK oleh kedua orang tuaku. Saat itu, setiap harinya kakek selalu menemani dan menjagaku. Awal pertama masuk TK, aku masih sering menangis dan nggak mau ditinggal sama ibu, karena alasan pekerjaan akhirnya kakek yang menggantikan.
           
Aku sangat dekat dengan kakekku, setiap habis pulang sekolah aku selalu menunggu jemputan kakek di depan pintu gerbang sekolah. Sebelum pulang biasanya aku mampir dulu ke toko langganan kakek untuk membeli chiki atau wafer kesukaanku. Aku selalu dititipkan ke rumah kakek, selain menunggu ayah dan ibu pulang bekerja juga untuk menemani kakek yang tinggal sendiri. Kakekku juga membuka warung kelontong kecil-kecilan untuk mengisi waktu luang ditengah mengasuh cucunya, aku.
            Dekat dengan kakek membuatku mencintai seni. Semacam terapi saat masa kanak-kanakku mengalami keterlambatan perkembangan motorik. Entah kakek menyadari atau tidak atas apa yang dialami cucunya, kakek selalu rela meluangkan waktu lebih untuk cucunya. Bersama kakek aku biasa menggambar diberbagai media mulai dari buku gambar, papan tulis, tanah, lantai bahkan tembok. Tak bisa dibayangkan saat itu, gara-gara ulahku rumah kakek penuh dengan coretan spidol, crayon, kapur dan cat air.  Begitulah kakek.
          Usiaku pun makin bertambah, dua tahun dipisahkan dari kelas yang biasanya membuatku jenuh, dan benar saja aku pun menyatakan penolakan diriku karena bosan dengan sekolah. Setiap diantar ke sekolah, aku selalu menangis dan minta pulang saja. Atas saran salah seorang guruku, di tahun ketiga aku dibaurkan dengan anak-anak yang lain. Aku masih bingung sebenarnya apa yang terjadi denganku ? Apa salahku ?
           
Menurut penuturan salah seorang guruku, Budi kecil memang sangat ceria dan lincah, hanya saja kemampuan motoriknya belumlah seimbang, masih semaunya sendiri. Memang benar adanya, sikap ini ku tunjukkan pada kegiatan menggunting, menempel, menebalkan, menyambung, meronce, meniti balok, jujur aku mengalami kesulitan yang cukup berarti. Anehya tidak berlaku untuk kegiatan menggambar, kreativitasku bertumbuh liar di sana. Setiap kegiatan menggambar aku selalu bersemangat mengambil senjataku pensil warna kayu dan crayon. Guruku saat itu sampai heran, pensil warna dan crayon tempatku cepat sekali habis sampai aku harus pinjam ke teman sebelah. Melihat tingkahku ini akhirnya, aku diberi keleluasaan untuk membaawa peralatan menggambar sendiri dari rumah.
            Bu Tyas, selalu melaporkan progress perkembangan diriku. Imajinasi yang terlalu kuat membuat aku menang dalam aspek visual saja. Diperlukan penyeimbang agar nantinya semua aspek dapat tercapai. Kala itu masih sangatlah asing dengan istilah dyslexia dan banyak orang menganggap biasa saja sama seperti anak lainnya. Di luar dugaan itu, kakeku adalah sosok yang paling berjasa dan sangat tanggap dengan kondisiku. Mungkin karena sering berinteraksi dengan cucunya yang nakal ini, membuat kakek melakukan segenap upaya demi cucunya. Saat itulah, kakek menerapiku diam-diam dengan cara sendiri. Mula-mula kakek membelikanku bongkar pasang, tentu aku sangat senang dibelikan mainan baru. Kemudian berbagai macam puzzle yang bertemakan buah dan binatang. Permainan baru, lantas kegemaranku menggambar bagaimana ? Kakek sekarang banyak memberikan contoh padaku untuk menggambar bangun datar, menulis huruf dan angka, tentunya masih simple. Oh iya aku juga diberikan plastisin beraneka warna, saat itu aku mulai suka membentuk.
            Dulu aku sering salah saat memasukkan kancing seragam sekolah, susah untuk menalikan sepatu, oleh karenanya ibuku membelikan sepatu dengan perekat agar tidak kesusahan, tetapi justru sepatu ini sering lepas. Di tahun keempat saat TK, aku meminta dibelikan sepatu bertali. Saat itu aku mulai bisa memakai sepatu bertali dan seragam sekolah sendiri. Alhamdulillah, ditahun keempat aku mulai dicampur dengan kelas reguler, guruku mengatakan kalau terlalu lama di TK tidak baik bagi perkembangan si anak. Alasan lain karena usiaku sudah masuk 7 tahun kurang, sudah pantas masuk sekolah dasar (SD). Senangnya tidak dipisahkan lagi, semenjak aku masuk kelas reguler tak ada lagi pemisahan kelas. Bu Wati yang menangani khusus di kelas khusus pun mulai mengajar di kelas reguler tanpa berbagi lagi.
            Di kelas reguler, aku dibelajarkan lebih tinggi lagi. Dahulu, para orang tua menginginkan anaknya yang sekolah di TK bisa diterima di SD favorit. Memang, saat itu masih sangat jarang orang tua yang memasukkan anaknya ke TK terlebi dahulu, orang tua cenderung memilih memasukkan anaknya langsung ke SD tanpa TK. Di SD favorit kebanyakkan siswanya adalah jebolan TK yang sudah bisa membaca, berhitung dan berkarya. Ada sistem seleksi peserta didik didik di sana. Orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sebuah sekolah favorit di kotaku tanpa mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Usia 7 tahun itu menjadi syarat utama ketika ingin masuk ke sekolah favorit. Kembali lagi ke ceritaku di awal, waktu aku masuk di kelas reguler aku benar-benar merasakan penyeimbangan motorik dalam diriku. Sekarang tak ada kata lagi untuk tidak bisa menulis, menggunting, mencocokkan, mengeja, meronce, dan berhalang rintang. Pelan tapi pasti aku mulai bisa melakukan hal-hal tersebut meski belum sempurna.
            Andai kakekku tidak memperhatikanku, mungkin dyslexia ku akan terbawa sampai SD. Tapi syukur, pada tahun keempat di TK pun aku masih diberikan terapi oleh kakek. Semakin ulet saja kakek  mengajariku untuk menulis, mengeja dengan berbagai media visual dan bentuk sampai akhirnya Budi bisa menulis dan sedikit mengeja tanpa terbalik-balik. Masih ingat dibenakku, saat kakek mengajariku untuk berhitung, digunakannya lidi yang ditempeli gambar. Selain itu, keramik rumah kakek sering dicorat-coret untuk digambar anak tangga angka, di situ kakek mengajariku penjumlahan dan pengurangan sederhana. Senangnya kalau belajar sambil bermain seperti ini, kakek memang paham betul apa yang dibutuhkan cucunya.

            Saat perpisahan di TK, aku diminta untuk membacakan sebuah sajak tentang guru. Jujur ini merupakan kesempatan emas bagiku untuk menyajikan penampilan puisi tersebut di depan guru-guruku dan orang tua siswa. Aku tak menyangka, ternyata pembacaan sajak itu dilombakan. Aku mendapat juara 2 lomba membaca sajak pendek, senangnya bukan main saat menerima piala pertama dari sekolah. Ku tenteng piala tersebut ku tunjukkan pada bapak, ibu dan tentunya pada kakekku tersayang. Ku lihat tetesan air mata haru dari ibu, bapak dan lebih-lebih kakekku, Subhanalloh.
            Tamat dari TK, aku minta didaftarkan di SD favorit di kotaku. Ini adalah murni permintaan dariku, bukan paksaan dari ibu atau bapakku. Orang yang pertama kali khawatir padaku adalah kakek,  dia memikirkan apakah cucunya bisa lolos tes seleksi masuk SD tersebut. Kalaupun tidak semoga tak ada perasaan kecewa dan sedih dariku. Benar saja, Budi kecil sangat semangat untuk masuk SD favorit itu, ku ikuti seluruh rangkaian penerimaan tes seleksi masuk. Rangkaian tes seleksi masuk itu : menulis, menggambar, membaca, berhitung, menghafal, bernyanyi dan wawancara. Ku bilang ini tes seleksi SD paling panjang bagi usia yang baru tamat TK. Seminggu kemmudian, ibu menerima hasil pengumuman dari sekolah, hasilnya Budi Wicaksono dinyatakan lolos dan diterima menjadi siswa SD Negeri 1 Kebumen.
            Kesulitan yang ku alami saat itu, ku rasakan bukan sebagai sebuah kesulitan, namun sebagai anugerah khusus yang diberikan Allah SWT. Aku sadar kala itu, bukan orang tuaku tidak peduli denganku, tetapi karena memang terbatasnya informasi dan ruang diskusi dengan orang tua yang memiliki kebutuhan khusus. Bukan berarti orang tuaku sibuk mencari materi saja sehingga menitipkan begitu saja aku pada kakek, bukan itu. Kebutuhanku sangatlah banyak, tanpa bapak dan ibuku mana mungkin aku bisa minum susu kaleng, makan bergizi, membeli mainan, membeli crayon, spidol, pensil warna, cat air dsb. Karena mereka memahami apa yang dibutuhkan anaknya. Kakek yang begitu tanggap dengan kondisi yang dialami cucunya membuat aku bersyukur beruntungnya aku memiliki sosok kakek seperti beliau.
            Di Sekolah Dasar aku tak berdiam diri, dulu aku memang dyslexia, sekarang aku adalah Budi dengan bentukkan baru. Semangat itu masih ada, aku diikutsertakan dalam bimbingan menggambar bagi anak-anak khusus, bimbingan kelas membaca puisi. Tentu ini merupakan sebuah kebanggaan buatku. Selain itu aku rutin dikirim di berbagai lomba menggambar dan membaca puisi, Alhamdulillah ada hasilnya.
Terima kasih untuk ibu, bapak dan kakek yang sudah menghantarku sampai dengan sejauh ini..
-always smiling to inspire others                                                                 

Kamis, 19 Februari 2015

Memersatukan Bangsa Melalui Pendidikan Inklusif

Oleh : Budi Wicaksono*

            Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai macam ras, suku, budaya dan agama.  Semua melebur menjadi satu dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu itulah cermin persatuan dan kesatuan bangsa ini, tak terkecuali dalam aspek pendidikan. Undang-undang Dasar Pasal 31 Ayat 1 Tahun 1945 mengamanatkan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dengan merata tanpa terkecuali. Lebih lanjut, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan jenis pendidikan yang mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. Utamanya bagi anak berkebutuhan khusus pun diberikan kesempatan untuk mengenyam  pendidikan agar harapan dan cita-cita mereka memiliki masa depan.
           
Pendidikan khusus di Indonesia yang kita kenal adalah sekolah luar biasa atau yang lazim kita kenal dengan sebutan SLB. Sejak diterbitkannya Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan / Atau Bakat Istimewa, keberadaan SLB kini terbantukan dengan adanya pendidikan inklusi melalui program sekolah inklusi. Pendidikan inklusi menjadi hal baru di Indonesia karena menggunakan sebuah pendekatan yang mentransformasikan sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Adapun hambatan yang dimaksud mencakup etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain sebagainya.
            Pendidikan inklusif tidak hanya berpusat pada anak berkebutuhan khusus saja melainkan dapat diperuntukan bagi anak yang mengalami kesulitan bahasa, putus sekolah karena sakit, berbeda agama, kekurangan gizi, tidak berprestasi maupun penderita HIV / AIDS. Kesemuanya akan dididik dengan ramah dan penuh kasih sayang tanpa adanya diskriminasi.
            Sekolah inklusi merupakan wujud ideal dari penyelenggaraan pendidikan inklusi di Indonesia. Sekolah ini memberikan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama dengan anak lainnya yang normal untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Tentunya mereka dididik dan diberi layanan dengan asas  pendidikan yang ramah dan tanpa diskriminasi. Selain pelayanan pendidikan, sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi siswa yang non berkebutuhan khusus untuk belajar berinteraksi secara spontan melalui hubungan sosial maupun emosional. Tak hanya itu, siswa non berkebutuhan khusus pun akan belajar bagaimana berempati, menolong orang lain dan meningkatkan rasa kepedulian.
            Model penempatan sekolah inklusi pada kelas-kelas tertentu menjadikan berbeda dengan sekolah reguler. Perbedaan ini bukan berarti menyekat siswa dengan kekurangan yang dimiliki, tetapi menggambarkan pendidikan yang humanis. Model penempatan yang dimaksud adalah kelas reguler, kelas reguler dengan paster, kelas reguler dengan pull out, kelas paster dengan pull out, kelas khusus dengan pengintegrasiaan serta kelas layanan dengan waktu tertentu. Kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang terhimpun dalam pola pendidikan terpadu.  Pola pendidikan terpadu menjadikan sekolah inklusi menjadi sekolah yang ramah dengan anak berkebutuhan khusus karena sebelumnya telah dilakukan tahapan penjaringan, klasifikasi, perencanaan pembelajaran dan pemantauan.
           
Konvensi hak-hak difabel pasal 24 tentang pendidikan juga menyebutkan setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah formal. Merupakan tindakan yang salah ketika menghambat difabel untuk memperoleh pendidikan atas dasar kekurangan yanng dia miliki. Setiap difabel tidak semestinya belajar di sekolah-sekolah khusus. Mereka pun mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan bersekolah di sekolah yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal mereka, bersama dengan teman-teman sebaya dan sepermainan mereka tetap dalam  setting pendidikan yang inklusif.
            Tak ada gading yang tak retak, pendidikan inklusif di Indonesia dapat diibaratkan demikian. Upaya pendidikan inklusif untuk mempererat rasa persatuan dan kesatuan bangsa perlu mendapat dukungan dari segenap elemen di negeri ini. Bukankah kaum different ability merupakan bagian dari negeri ini ? Bukankah mereka memiliki harapan dan hak untuk memajukan negeri ini ? Untukmu Indonesia, Salam Kesetaraan.

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan 2012
Universitas Negeri Semarang
Founder Difable Care Community UNNES  

Daftar  Referensi :
Yulianto, Joni, dkk. 2010. Difabilitas : Antara Mimpi dan Kenyataan. Yogyakarta : SIGAB
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa 

Rabu, 18 Februari 2015

Mimpiku : Mendirikan Sekolah Inklusi

Oleh : Budi Wicaksono
            Salah satu mimpi yang ku tulis ke dalam 100 daftar mimpiku adalah mendirikan sekolah inklusi. Dapat dikatakan ini adalah salah satu kontribusi yang ingin ku sumbangkan setelah lulus dari sarjana pendidikan nanti. Alasanku cukup kuat untuk mendirikan sekolah inklusi ini, melihat semakin banyaknya anak berkebutuhan khusus (different ability) yang kurang mendapatkan kesempatan untuk belajar. Stigma negatif tentang kemampuan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus harus kita ubah dengan perspektif yang lebih humanis karena setiap anak memiliki potensi masing-masing.  
            Dewasa ini, keberadaan sekolah luar biasa (SLB) dinilai sudah tidak mampu lagi menampung jumlah anak berkebutuhan khusus yang semakin meningkat. Rasio antara jumlah sekolah, tenaga pendidik dengan jumlah anak berkebutuhan khusus saat ini bisa dikatakan tidaklah seimbang. Untuk itu, keberadaan sekolah inklusi dapat dijadikan alternatif pendidikan selain SLB. Sekolah inklusi merupakan sekolah yang memberikan pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama dengan anak lainnya yang normal untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Sekolah inklusi diselenggarakan di kelas reguler dengan melibatkan semua peserta didik tanpa kecuali. Tentunya mereka dididik dan diberi layanan pendidikan yang ramah dan tanpa diskriminasi.
            Sekolah inklusi di kotaku Kebumen tercatat baru 6, terdiri dari 4 sekolah dasar (SD) dan 2 sekolah menengah pertama (SMP). Sekolah inklusi ini tergolong baru dan menjadi percontohan bagi sekolah lain. Anak berkebutuhan khusus yang baru bisa dilayani di sana yakni tuna netra, tuna daksa dan tuna rungu. Bagai gading yang tak retak, penyelenggaraan sekolah inklusi di kotaku pun masih banyak kekurangan. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang seperti buku bacaaan dan media pembelajaran perlu mendapat perhatian khusus. Sejauh ini kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung dengan baik, sesuai dengan apa yang diharapkan. Adanya pendampingan khusus bagi anak berkebutuhan khusus saat belajar meringankan tugas guru kelas saat menyampaikan materi. Keberadaan anak berkebutuhan khusus dinilai tidak menganggu keberlangsungan sistem belajar mengajar di sana karena semua komponen kelas mendukung.
            Atas dasar pemikiran inilah, saya ingin merealisasikan mimpi tersebut dengan membangun sebuah sekolah inklusi di Kebumen. Mengusung konsep go green, nantinya sekolah saya akan buat menyerupai hutan mini dengan saung sebagai kelasnya. Diharapkan interaksi antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal akan lebih membaur lagi tanpa sekat melalui alam. Tentunya sekolah inklusi berbasis alam ini disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus agar lebih mudah diakses. Pembelajaran yang out of context akan dikembangkan di sekolah alam inklusi yang akan saya buat. Siswa maupun guru tidak hanya terpacu pada ketentuan yang ada, lebih dari itu siswa dapat diberikan kesempatan untuk mengeksplor kemampuan yang mereka miliki melalui alam, begitu pun sebaliknya guru akan semakin kreatif dalam memanfaatkan bahan yang ada di alam menjadi sebuah media belajar.

            Gambaran sekolah inklusi yang akan saya buat dengan menggunakan pendekatan friendship dan metode field trip. Pendekatan friendship lebih membuka interaksi antara siswa normal dan berkebutuhan khusus untuk saling mengerti satu sama lain. Selain itu, guru juga tidak dianggap sebagai sosok yang menakutkan saat menyampaikan materi karena mampu menyampaikan materi secara bersahabat. Metode field trip merupakan metode yang disiapkan guna melakukan pembelajaran berbasis perjalanan. Field trip ini pun dapat digunakan sebagai sarana sosialisasi kepada masyarakat tentang keberadaan sekolah inklusi. Ini adalah salah satu usaha sadar untuk memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang pendidikan inklusi yang ranahnya tak hanya pada anak berkebutuhan khusus tetapi juga infrastruktur yang aksesibel, pemberian layanan kesehatan dan transportasi massal.  
            Kita seharusnya sadar bahwasanya pendidikan merupakan senjata paling ampuh untuk mengubah dunia. Diskriminasi dalam pendidikan sudah seharusnya ditegakkan demi terciptanya bangsa Indonesia yang cerdas dan bermartabat. Salam Pendidikan.
Kebumen, 19 Februari 2015