Minggu, 26 April 2015

Kebumen Muda, Inspirasi Muda

Post by :




BUDI WICAKSONO, PENGGAGAS KOMUNITAS PEDULI DIFABEL
Budi –sapaan akrab pria bernama lengkap Budi Wicaksono– adalah mahasiswa yang kini tengah menjalani studi di jurusan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, angkatan 2012. Dalam kehidupan sehari-hari, dia tampak biasa saja. Sebagai mahasiswa, dia menjalani berbagai pembelajaran perkuliahan, aktif berorganisasi di kampus, dan mengikuti kegiatan sosial. Di balik kesahajaannya, Budi memiliki langkah besar dan perhatian mendalam terhadap para difabel. Kepedulian tersebut diwujudkan melalui aksi nyata untuk kepentingan mereka.



Perkenalan dengan Difabel
Ketertarikan Budi terhadap difabel berawal dari keikutsertaanya dalam Kongres Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan se-Indonesia di Surakarta. Di sana, dia melihat banyak sekali problem pendidikan di Indonesia. Salah satu masalah yang dikaji adalah penyelenggaraan pendidikan khusus. Selain hadir sebagai peserta kongres, dia juga diundang dalam acara deklarasi Solo sebagai kota inklusi dan ramah anak. Hal itu menginspirasi pria kelahiran Kebumen, 25 September 1993, tersebut dalam membuat sebuah gerakan untuk difabel di tanah rantau Semarang. Pergerakan Budi dimulai dari kampus dengan menggagas komunitas peduli difabel. Awalnya, komunitas itu difokuskan untuk kegiatan pengabdian di beberapa sekolah luar biasa. Seiring berjalannya waktu, komunitas tersebut pun melayani mahasiswa difabel yang berkuliah di Unnes.
”Latar belakang terjun ke komunitas difabel adalah saya rasa tiada hidup yang sempurna. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Tinggal bagaimana cara kita mensyukuri pemberiaan Allah SWT. Salah satunya, berbagi dengan saudara-saudara kita yang memiliki different ability sehingga mereka mendapat aksesibilitas,” jelasnya.
Selain menggagas komunitas peduli difabel di kampusnya, Budi yang kini tengah disibukkan jadwal kuliah semester enam juga masih tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Kota Semarang (Gerkatin Semarang). Gerkatin Semarang sangat aktif dalam menyosialisasikan bahasa isyarat Indonesia (bisindo) yang dilaksanakan setiap pelaksanaan car free day. Selain itu, Gerkatin Semarang menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat dengan menjadi trainer (speaker) dalam pelatihan difabel.
Meski sibuk menjadi aktivis, si penyuka nasi goreng dan es teh tersebut sangat prestatif. Baru-baru ini, Budi masuk jajaran finalis mahasiswa berprestasi FIP Unnes dan meraih juara IV. Bahkan, makalah yang dia presentasikan tetap berkaitan dengan difabel. Dia mengangkat tema Media Pembelajaran untuk Menyosialisasikan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) kepada Teman-Teman Tunarungu. Sederet prestasi lain pun pernah ditorehkan Budi. Di antaranya, juara II lomba menulis esai blog Temu Inklusi dalam rangka Hari Difabel Internasional yang diselenggarakan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) Yogyakarta. Dalam lomba itu, dia mengangkat isu menggagas kampus inklusi. Dia beberapa kali didaulat untuk mengisi atau menjadi trainer dalam pelatihan yang diperuntukkan bagi kaum difabel di beberapa sekolah luar biasa (SLB). Dia juga merupakan salah seorang yang suratnya lolos dikirim ke NTT dengan inspirasi perjuangan difabel pada program Surat Untuk Adik (SUA) dari Youth’s Act for Indonesia (YAFI). Baru-baru ini, Budi bergabung dalam 50 mahasiswa inspirasi muda dan berkarya Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada bidang kajian difabel.


Meski menimba ilmu di tanah rantau dan aktif dalam berbagai komunitas di Semarang, Budi yang menghabiskan masa tumbuh usianya di Jalan Pemuda, Gang Mawar 10 B, RT 4, RW 3, Kebumen, tidak lantas melupakan tanah kelahirannya. Baru-baru ini, dia mengajar bisindo di komunitas difabel yang bernama Komunitas Difa. ”Saya terdorong mengajar bisindo di Komunitas Difa beberapa minggu lalu. Sebab, sejauh ini, belum ada sosialisasi penggunaan bisindo kepada masyarakat umum untuk berkomunikasi dengan penyandang tunarungu,” jelas Budi. Masalah itu disebabkan minimnya informasi tentang bahasa isyarat Indonesia. Padahal, komunitas difabel sewajarnya mengetahui penggunaan bisindo. Sebab, komunitas difabel menjadi awal mula pergerakan untuk difabel.
Komunitas difabel di Kebumen kurang masif dalam menyuarakan perjuangan dan pergerakan difabel. Hal tersebut disebabkan minimnya sumber belajar dan terbatasnya sumber daya manusia yang peduli dan terjun ke dunia difabel. Di kota lain, sudah tumbuh kesadaran untuk menggerakkan isu difabel dari penggerak-penggerak muda. Masalahnya, penggerak muda di Kebumen cenderung diam dan masih enggan menyuarakan isu itu. Ibu Iin –founder Komunitas Difa Kebumen– menyatakan, komunitas difabel di Kebumen hanya beranggota orang tua yang memiliki anak difabel. Mereka berkumpul untuk saling menguatkan satu sama lain tanpa adanya konsep kajian atau bahasan setiap kali berkumpul. Di kota lain, banyak sekali kaum muda yang merelakan waktunya untuk ikut menggerakkan isu difabel.

Harapan terbesar Budi untuk komunitas difabel di Kebumen adalah mampu menjadi motor penggerak dalam memasifkan isu difabel. Dengan begitu, keberadaan kaum difabel di Kebumen dapat diakui dan mereka bisa mendapatkan hak-haknya. Komunitas difabel di Kebumen juga diharapkan dapat menggugah masyarakat umum dengan prespektif yang lebih terbuka. Yaitu, masyarakat mau menerima keberadaan difabel dalam interaksi sosial. Dia berharap teman-teman muda di Kebumen ikut ambil bagian dalam membesarkan komunitas difabel yang sudah digawangi Ibu Iin. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan kegiatan yang bermanfaat bagi difabel di Kebumen. ”Nantinya, saya siap berbagi ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan di perantauan dengan kaum muda di Kebumen. Saya juga siap mengadakan kajian-kajian isu difabel dan pelatihan untuk difabel bersama Komunitas Difa di Kebumen. Saya berharap adanya komunitas difabel di Kebumen dapat memfasilitasi kebutuhan aksesibilitas difabel dalam menggagas Kebumen sebagai kabupaten yang ramah difabel,” ucapnya.
Pria yang memiliki hobi melukis, membaca, membaca puisi, dan menulis itu saat kecil bercita-cita menjadi arsitek. Seiring berjalannya waktu, dia menemukan apa yang menjadi fokus dan perhatiannya. Dia pun berharapan bisa mengembangkan model pembelajaran yang ramah bagi difabel. Kepada redaksi kebumenmuda.com, Budi menuturkan bahwa selama ini dirinya memiliki tokoh inspirasi. Yaitu, Ibu Een Sukaesih, guru qalbu yang mampu mengajar dengan segala keterbatasan. ”Yang beliau lakukan membuat saya kagum dan ingin menerapkan hal tersebut ketika saya menjadi pendidik,” tuturnya.
Di akhir perbincangan, Budi menyerukan slogan yang selama ini dia tulis. “Nothing about us without us”merupakan slogan perjuangan dan pergerakan difabel. Slogan tersebut memiliki filosofi yang sangat dalam. Yaitu, tentang diakui atau tidaknya para difabel saat mereka terlibat dalam sebuah kegiatan. Karena itu, difabel perlu diberi kesempatan dan keterlibatan untuk berinteraksi dalam kehidupannya.
”Makna kekuatannya dalam banget bagi saya. Kalimat tersebut mampu menjadi mantra agar aku tetap konsisten dan mampu berbuat lebih untuk difabel,” katanya.

Jumat, 17 April 2015

Surat Cinta Untuk Walikota Semarang

Kepada
Bapak Hendrar Prihadi, S.E, M.M
Walikota Semarang
Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Bapak Hendrar, apa kabar tuan ? semoga baik dan bahagia, sama sepertiku.
Tuan, ketika membaca surat ini, semoga tuan tersenyum dan kerutan di kening tuan berkurang. Kegelisahan memang selalu menghampiri setiap orang. Apalagi kepada pemimpin besar seperti tuan.
Apakah tuan tahu siapa diriku. Baiklah. Namaku Budi Wicaksono, seorang mahasiswa. Tenanglah tuan, jangan panik dan tegang dahulu mendengar statusku sebagai seorang mahasiswa. Jujur aku bukan mahasiswa yang senang ikut demonstrasi dan menuntut pemerintah tanpa solusi, percayalah.
Sekarang tuan bacalah surat cintaku. Cintaku bukanlah sekadar kata-kata. Bukan deretan orasi dan naskah berita. Tetapi cintaku ini adalah sebuah gagasan untuk Menuju Semarang Setara.
Ada gagasan yang ingin ku sampaikan sebagai upaya memberikan kontribusi untuk Semarang. Aku ingin menyuarakan hak teman-temanku penyandang disabilitas di Semarang. Begini tuan, Semarang merupakan kota besar yang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah. Hatiku iri melihat kota sebelah, sebutlah kota Solo mendeklarasikan sebagai kota inklusi dan layak anak. Inklusi merupakan sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan lingkungan yang semakin terbuka. Hal ini berarti bahwa adanya keterbukaan dan keramahan bagi semua, saling menghargai dan mengikutsertakan perbedaan karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.
Gagasan yang ingin ku kerucutkan di sini menyangkut persoalan pendidikan inklusif, tuan.Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun  2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pasal 3 ayat 2 Permendiknas ini menggolongkan siapa saja yang disebutkan memiliki keleluasaan dalam hal ini ada 10 kategori yakni : tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya memiliki kelainan lainnya, dan tunaganda.
Bukankah mereka bagian dari masyarakat Semarang juga, tuan ?  dan berhak atas pendidikan yang layak tanpa diskriminasi ? Tuan, pendidikan adalah salah satu jalan menjadikan individu sebagai agen perubahan, bukan sekadar penerima pasif program pemberdayaan. Merefleksi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa Sistem Pendidikan Indonesia harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tuan, di Jawa Tengah tercatat 47 sekolah luar biasa (SLB) swasta dan negeri yang tersebar di tingkat kota dan kabupaten di Jawa Tengah. Demikian halnya di Semarang, tercatat kurang lebih 8 SLB yang meliputi SLB swasta dan negeri. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam angka 2006 tercatat penyandang disabilitas secara keseluruhan mencapai 1570 jiwa dan akan terus meningkat. Melihat fenomena di atas perlu adanya relokasi dan penambahan sarana dan prasarana yang akan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Tuanku, saat ini keberadaan sekolah luar biasa (SLB) sudah tidak efektif lagi. Rasio jumlah penyandang disabilitas dan guru tidaklah seimbang seiring bertambahnya jumlah penyandang disabilitas. Selain itu, kondisi di SLB mengekslusifkan penyandang disabilitas sendiri dalam mendapatkan layanan pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan layanan pendidikan yang fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi hal tersebut.
Balai Pengembangan Pendidikan Khusus (BP-DIKSUS) Dinas Provinsi Jawa Tengah merilis ada 44 sekolah inklusi di Semarang. Dari jumlah ini tuanku, seharusnya dapat dimaksimalkan penyelenggaraannya untuk membantu penyelenggaraan sekolah luar biasa (SLB). Tuanku, aku ingin mengajak para orang tua yang memiliki anak difabel untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jujur saya ingin mengubah stigma negatif masyarakat tentang keberadaan teman-teman disabilitas yang sering dianggap lemah dan remeh. Saat ini yang kita butuhkan adalah proses sosialisasi kepada masyarakat terkait penyelenggaraan sekolah inklusi selain membenahi sarana dan prasarana pendukung di sekolah inklusi.
Tuanku, saya berkeyakinan bahwa pendidikan inklusif merupakan sarana hidup dan belajar cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Tuanku, saya sebagai mahasiswa siap untuk ikut andil bagian dari penyelenggaran pendidikan inklusif di Semarang, untuk Semarang yang setara. Hal sederhana yang dapat kita  dilakukan adalah mengkaji kembali regulasi, penyelenggaraan dan historis melalui focus group discussion yang melibatkan semua komponen masyarakat Semarang.
Di sebuah malam yang syahdu ini, Budi ingin mengajak tuan untuk mewujudkan gagasan dan harapan yang sudah ku sampaikan tadi. Aku ingin tuan tersenyum dan kening tuan tidak berkerut lagi. Aku tak ingin lagi melihat tuan panik mendengar kata mahasiswa. Karena aku di sini sadar, mahasiswa akan membantu pemimpinnya jika terjadi masalah di negeri ini. Saatnya mewujudkan Semarang yang setara, tuan. Sudah dahulu tuan, sekali lagi tersenyum ya, jangan gelisah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 15 April 2015
Di bawah sinar rembulan, salam hormatku untuk tuan

Budi Wicaksono