Minggu, 19 Oktober 2014

Belajar BISINDO Bersama Teman-teman GERKATIN SEMARANG

Setiap hari Minggu pagi di kawasan Car Free Day Simpang Lima, Semarang tepatnya di depan tugu patung kuda UNDIP Pleburan aku bersama kawan-kawanku biasanya ikut menyosialisasikan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) bersama teman-teman dari GERKATIN (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia)  SEMARANG. Sebelum melangkah lebih jauh, Budi akan jelaskan apa itu BISINDO ?



BISINDO pertama kali diciptakan dan dicetuskan oleh Dimyati Hakim  (Ketua DPP PERTRI), tunarungu, berkaitan dengan maraknya pertikaian dan polemik penggunaan bahasa isyarat di Indonesia. Dimyati Hakim yang pertama kali meneliti dan membedakan bentuk bahasa isyarat di Indonesia, yaitu berbentuk struktural dan konseptual dengan memaparkan fungsi, maksud, tujuan, dan lingkup penggunaannya. 


Salam 


Angka

Sejatinya, penggunaan bahasa isyarat dalam pergaulan komunitas tunarungu di masyarakat, isyaratnya haruslah memenuhi 3 unsur utama, yaitu kecepatan, keringkasan dan kepahaman. Melihat kenyataan tersebut diatas, sebagai sebab dan akibatnya maka timbullah dua pandangan yang berbeda dalam penggunaan bahasa isyarat di Indonesia, yaitu bahasa isyarat struktural yang berkaitan dengan struktur bahasa Indonesia seperti yang berkaitan dengan struktur bahasa Indonesia seperti yang digunakan dalam kamus SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) produk kementerian Pendidikan Nasional, dan bahasa isyarat konseptual yang berkaitan dengan budaya dan karakter komunikasi tunarungu Indonesia yang hingga saat ini masih diteliti oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Bahasa Isyarat Indonesia (Lemlitbang BISINDO) yang didirikan oleh Dimyati Hakim bersama dengan teman-teman tunarungu Indonesia (Sumber : Persatuan Tuna Rungu Indonesia).
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, keberadaan BISINDO sebagai alat komunikasi penyandang tuna rungu dengan masyarakat itu sangatlah penting. Pertama kali Budi belajar BISINDO karena motivasi dari Ibu Galuh Sukmara saat beliau mengisi Seminar Nasional Pendidikan Inklusi di kampusku. Aku merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan beliau, ya karena sekali lagi saat itu aku belum bisa belajar bahasa isyarat. Terus aku lihat Mas Rully, dia adalah translater BISINDO, aku kagum dengannya. Nah inilah motivasi awal yang membuat aku tertarik untuk belajar.
Selain itu, Bu Galuh juga pernah menyampaikan pesan kepada ku, belajarlah BISINDO karena dengan BISINDO kamu akan menghargai hak asasi penyandang tuna rungu. Memang sih, kita yang seharusnya belajar dan memamahi mereka, bukannya mereka yang harus kita paksakan untuk berkomunikasi sama seperti kita. Bukan begitu ?
Setelah acara seminar itu selesai, aku memutuskan untuk mencari tempat sumber ilmu yang dapat mengajarkanku BISINDO. Ternyata di Semarang ada dan kebetulan baru saja di sosialisasikan oleh GERKATIN. Ku putuskan deh untuk gabung.  


Belajar BISINDO

Pertama kali belajar BISINDO, aku dibelajari oleh Libna. Libna merupakan penyandang tuna rungu yang aktif menyosialisasikan BISINDO setiap minggunya. Butuh waktu 30 menit untuk belajar alfabet BISINDO. Yess, aku bisa, meski saat itu aku masih lupa dengan huruf “H” tanganku selalu saja terbalik mempraktikkan. Hehee. Setealah belajar alfabet aku pun belajar BISINDO lainnya, seperti ucapan-ucapan, keluarga, angka, dsb. Alhamdulillah sedikit-sedikit bisa.
Buat temen-temen yang penasaran ingin belajar BISINDO dan ingin turut serta memperjuangkan BISINDO sebagai bahasa komunikasi penyandang tuna rungu dimasyarakat, Ayo gabung bersama kami. Nanti kita akan bertemu dengan teman-teman hebat di sana.


Jumat, 10 Oktober 2014

Kasih Sayang Berbalut Harumnya Aroma Bunga


           
Sejak masih belia ibuku sudah mulai berjualan bunga di pasar, berawal saat  embok (panggilan untuk ibu) atau nenekku sakit-sakitan. Sebagai seorang anak, ibuku rela membantu embok berjualan bunga di pasar untuk menghidupi keluarga. Embok saat itu memiliki lima anak, ibuku merupakan anak kedua dan anak perempuan pertama di keluarga. Ibu dengan penuh kerelaan menggantungkan pendidikannya hanya sampai sekolah dasar (SD) untuk kemudian dirinya membantu embok berjualan. Menurut penuturan ibu, saat itu kakek hanya bekerja sebagai buruh bangunan dengan penghasilan yang tak menentu. 
***
            Tiga puluh tahun tak terasa, ibu melanjutkan perjuangan embok untuk berjualan bunga di pasar. Kebakaran, relokasi dan renovasi pasar menjadi saksi bisu perjalanan ibu berjualan bunga. Bunga tabur untuk ziarah ke makam menjadi primadona para pembeli kebanyakan. Tak hanya bunga, ibu menjajakan berbagai ramuan herbal atau jamu, wedak (bedak), minyak wangi dan kelengkapan sripahan (orang meninggal).
            Secara rutin ibu berjualan bunga di pasar tanpa libur. Pagi-pagi sekali beliau sudah memasak dan mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan aku, adik dan ayahku. Kesibukaan ibu di setiap pagi sangatlah nampak karena ayah harus berangkat pagi ke kantor, adik juga harus sekolah. Hal ini memaksa ibu untuk bergerak cepat agar semua dapat terlayani. Bermodalkan sepeda onthel, ibu memuliakan dirinya untuk keluarga tanpa rasa mengeluh sedikit pun.
            Setelah semua urusan rumah beres, ibu bergegas pergi ke pasar untuk membuka lapak bunga sederhana miliknya. Terkadang ibu berangkat siang hanya karena mengurusi urusan rumah yang tak selesai-selesai. Bagi ibu, berangkat pagi ataupun siang ke pasar tidak menjadi masalah karena rezeki sudah diatur oleh Allah SWT yang terpenting kewajiban sebagai seorang istri dan ibu telah ditunaikan. Di pasar, ibu termasuk pedagang yang paling siang membuka lapak bunganya dibandingkan pedagang serupa yang sudah buka sejak shubuh.  
***
            Lapak ibu berukuran 3 x 4 meter dan di lapak itulah ibu memeras keringatnya di tengah harumnya semerbak bunga yang dijejer di atas penampan. “Crik, crik, crik”, percikan air ibu percikkan ke bunga-bunga yang baru saja dijejer.
            Aku sebagai seorang anak, bangga memiliki sosok ibu seperti beliau. Meskipun bapak bekerja sebagai seorang pegawai negeri, namun ibu tidak mau berpangku tangan begitu saja. Bagi ibu, berjualan bunga merupakan usahanya untuk membantu bapak menghidupi keluarga. Selain itu, berjualan bunga merupakan profesi turun temurun dari embok dahulu. Mungkin karena cinta, ibu susah melepaskan profesi berjualan bunga ini.
            Berkat ibu, aku dapat melanjutkan pendidikan sampai tingkat universitas. Betapa kasih sayang ibu kurasakan tak terhingga, ibu rela menahan dirinya untuk meminta kebutuhan yang neko-neko pada bapak demi aku. Bapak diminta fokus membiayai pendidikan anak-anaknya, sedangkan untuk masalah biaya hidup sehari-hari ibu rela menanggungnya.
            Suatu kali, ibu menceritakan saat dirinya ditanya oleh rekan bapak di kantor : “Bu, ibu ini kan istri pegawai, kenapa nggak ikut-ikutan seperti istri pegawai yang lain?”. Aku terdiam dan berkaca-kaca saat ibu menjawab :”Saya nggak punya apa-apa, dan tak terbiasa untuk hidup apa adanya meskipun menjadi istri pegawai sekali pun, yang saya punya adalah anak, dan usaha maksimal akan saya lakukan untuk anak-anak saya demi masa depan yang lebih baik dari orang tuanya dahulu”.
            Rasa kasih sayang ibu begitu lekat ku rasakan, dahulu saat aku belum merantau kuliah, begitu dekatnya aku dan ibuku. Kami berdua sering menghabiskan waktu bersama untuk sekadar ngobrol, makan bareng dan hang out. Tanpa rasa malu aku selalu mengikuti kemana ibu pergi bahkan sampai sekarang. Ibu sangatlah sayang pada aku dan adikku, permintaan-permintaan yang tidak dapat dipenuhi bapak, perlahan tapi pasti ibu mewujudkannya. Ini yang menjadi alasan kuat ibu tidak akan meninggalkan profesi berjualan bunga sampai akhir hayatnya.
            Aku merindukan momen bersama dengan ibu,  saat aku harus mengantarkan beliau ke pasar, membantu membuka lapaknya, dan membantu berjualan bunga di pasar. Rasanya senang dan bangga saat aku berjualan bersama ibu. Bukannya pamer, tapi saat ibu ditanya oleh kawan-kawannya : “Putranya dimana sekarang, bu ?”. Terpancar binar kebahagiaan saat ibu menjawab kalau anaknya sekarang sedang kuliah meski dirinya hanya berjualan bunga dan tamatan SD.
            Ibuku selalu mengajarkan ku untuk hidup apa adanya, meskipun aku calon sarjana tetapi ilmu yang ku dapat tidak mampu menggantikan pengorbanan serta cinta kasih tulus yang ibu berikan padaku. Ibu, anakmu Budi Wicaksono kini tengah berjuang. Disetiap nafasmu doakan selalu berjuangan ini. Aku sayang ibu...Untukmu ibuku Sri Sudaryati, pahlawan hidupku...kasih sayangmu akan selalu harum di hati ini.
-          Budi Wicaksono -