Minggu, 26 Juli 2015

Difabel Berwisata, Kenapa Tidak ?


Dimuat Selasar.com
Minggu, 26 Juli 2015 | 06.00 WIB 

Oleh : Budi Wicaksono*



         
         Saat musim lebaran seperti ini, umumnya masyarakat disibukkan dengan  ritual mudik ke kampung halaman. Setelah sampai di kampung halaman, biasanya mereka berkumpul bersama sanak famili setelah sekian lama tidak bertemu. Untuk melepas kepenatan dan rasa rindu, tempat wisata menjadi pilihannya. Tempat wisata di kala musim libur lebaran seperti saat ini diprediksi akan kebanjiran pengunjung dibandingkan dengan hari-hari biasanya.
Tahukah di balik euforia kita merayakan moment libur lebaran ke sejumlah tempat wisata, ada hal yang tidak kita pikirkan bahkan jarang untuk memikirkannya. Ya, nasib para penyandang difabel. Di moment liburan seperti saat ini, apakah mereka merasakan euforia yang sama dengan kita? Dapat mengunjungi tempat wisata bagi mereka seakan hanya mimpi di siang bolong.
Memberikan kesempatan difabel untuk berwisata dapat kita maknai dengan pemenuhan hak bagi mereka untuk berekreasi dan berinteraksi sosial. Namun yang menjadi permasalahan, terkadang mereka masih terpenjara oleh stigma dan pengucilan di masyarakat. Stigma negatif dari masyarakat umum tentang kekurangan yang disandang mereka yang dianggap merepotkan berujung pada dampak psikis bagi keluarga mereka untuk membawa dan mengajak berlibur ke tempat wisata. Rasa malu kerap menyelimuti mereka. Terlebih dengan pengucilan di masyarakat yang membuat penyandang difabel tidak leluasa untuk keluar rumah dan cenderung menutup diri di rumah.
Pengelola tempat wisata pun seakan menutup akses bagi penyandang difabel untuk berekreasi. Alasan yang mereka lontarkan biasanya karena belum adanya akses jalan khusus bagi si difabel, dengan kata lain tempat wisata belum bisa terakses oleh difabel. Ada beberapa tempat wisata memang yang dapat diakses oleh penyandang difabel seperti  kebun binatang, pantai, taman pintar, dan beberapa monumen. Tempat wisata yang disebutkan tadi sebenarnya secara tidak sengaja memiliki setting yang dapat diakses difabel sehingga tidak perlu menambahkan sarana akses tambahan.
Di Jakarta misalnya, ada Jakarta Barier Free Tourism sebuah komunitas yang digagas oleh Ibu Cucu Saidah dan Faisal Rusdi bagi penyandang difabel untuk kegiatan jalan-jalan. Komunitas ini dibangun dengan misi terhadap penyandang difabel dan masyarakat dari segala kalangan karena minimnya terhadap fasilitas dan perilaku publik yang kerap menjadi hambatan bagi penyandang difabel untuk menikmati kebebasan. Lewat kegiatan jalan-jalan ke tempat wisata mereka mengajak untuk berani keluar rumah dengan tetap mengomunikasikan bahwa mereka sejatinya adalah bagian dari masyarakat. Jakarta Barier Free Tourism merupakan salah satu contoh role model pergerakan peyandang difabel terhadap minimnya akses untuk menikmati tempat wisata. Ini dapat menjadi angin segar bagi teman-teman difabel tentunya, bukan begitu ?
Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga difabel, ajaklah mereka keluar untuk membuka diri dengan lingkungannya. Sejatinya ini akan menanamkan rasa percaya diri pada mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat. Teruntuk pengelola tempat wisata sudah seharusnya ada perhatian khusus untuk penyediaan akses bagi penyandang difabel. Intinya diperlukan komunikasi yang intens untuk membangun hal ini agar tidak ada salah persepsi di antara anggota masyarakat. Memberikan  pengertian dan edukasi kepada masyarakat terkait hal ini, dalam jangka panjang akan membuat mereka menerima dan tidak akan lagi anggapan yang menyatakan bahwa penyandang difabel adalah kaum yang aneh, lemah dan termarjinalkan, tetapi justru dapat saling berdampingan bahkan menguatkan satu sama lain. Selamat berlibur, salam kesetaraan untuk kita semua.

https://www.selasar.com/budaya/difabel-berwisata-kenapa-tidak

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar