Minggu, 20 Desember 2015

Interpreter Yang Memudahkan

Dimuat Selasar.com
Minggu, 20 Desember 2015 | 06.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Pernahkah kalian menjumpai dalam sebuah tayangan berita, debat pemilihan kepala daerah, talkshow, dan acara lain di televisi sebuah kotak kecil yang biasanya di pojok kiri atau kanan yang memperagakan gerakan tangan dengan cepat dan mimik yang ekspresif ? Ya itu interperter sign languange (ISL) atau penerjemah bahasa isyarat. Acara yang dilengkapi dengan ISL dimaksudkan agar teman-teman tunarungu dapat menikmati tayangan yang disiarkan. Ini penting dilakukan oleh stasiun TV karena dengan disediakannya ISL teman-teman tunarungu memperoleh kemudahan dalam mengakses informasi.
            Ada sebuah eksperimen kecil yang dapat kita lakukan. Pertama, tutup telinga kita dengan kapas atau dengan kedua telapak tangan kita. Kedua, simak sebuah berita di televisi. Pertanyaannya apa yang kalian ketahui ketika menyimak berita dengan posisi pendengaran tertutup? Apakah kalian dapat menangkap informasi yang disampaikan ? Ya, begitulah gambaran sederhana mengapa diperlukan interpreter. Terlalu memaksakan jika teman-teman tunarungu hanya menyaksikan gerakan mulut dari tampilan visual. Bukankah terlalu cepat dan rasanya teramat lelah untuk memperhatikan setiap gerak bibir.
          Interperter Sign Language memang diperlukan dalam setiap tayangan di televisi. Sepengamatan saya, Televisi Republik Indonesia atau TVRI menyediakan akses tersebut dalam setiap acara beritanya entah itu menggunakan sistem bahasa isyarat (SIBI) maupun bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) secara konsisten. Ini dapat dijadikan inspirasi stasiun televisi lain di Indonesia untuk menyediakan hal serupa. Penerjemah tidak harus dari guru SLB melainkan bisa dari organisasi difabel seperti Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) maupun dari orang yang mengerti bahasa dan komunikasi bahasa isyarat. Menjadi interpreter tidak boleh sembarangan, selain memperagakan gerakan tangan dengan cepat dan mimik yang ekspresif, sang interpreter juga harus diawasi oleh guru atau penasihat dari tunarungu untuk mencatat kalau ada yang salah.
            Saya pikir tidak akan menganggu jika setiap tayangan di televisi disediakan interpreter karena tidak terlalu memakan space yang banyak, iya kan ? Ini adalah salah satu bentuk pencerdasan bagi teman-teman tunarungu karena dengan begitu akan lebih terbuka akses informasi yang mereka dapat. Jika memang bahan pertimbangan bagi pihak stasiun televisi untuk menyediakan ISL karena minimnya sumber daya manusia untuk menyediakan hal tersebut solusinya dapat dengan memberikan semacam sub title seperti pada film-film. Janganlah kita berpikir hal ini akan menganggu tayangan apa yang kita tonton, berpikirlah agar akses informasi yang mereka dapatkan sama seperti kita. Sudah dijelaskan di atas kalau menjadi interpreter bisa dilakukan oleh siapa pun asal kita dapat menguasai bahasa dan komunikasi bahasa isyarat. Kita dapat belajar bahasa isyarat terlebih dahulu sebelum menjadi ISL. Tinggal bagaimana kemauan kita untuk mengambil peran ke sana. Salam Kesetaraan !


*Mahasiswa jurusan Teknologi Pendidikan
Universitas Negeri Semarang,
Pemerhati Difabel 

Senin, 14 Desember 2015

Pertemuanku dengan Mereka...


Oleh : Budi Wicaksono*


            Pagi ini aku begitu bersemangat karena akan berkunjung ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Putra Pertiwi, Tamanwinangun, Kebumen. Nyaris tepat 22 tahun, aku tahu keberadaan SLB tersebut tetapi belum satu kali pun berkunjung ke sana. Akhirnya hari ini diberikan kesempatan untuk berkunjung ke sana. Tanpa persiapan memang dan mendadak karena aku hanya mengabari mbak Utami, teman baik ku yang aku kenal lewat sosialisasi bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) kala itu. Bermodalkan sms, mbak Utami siap menemani petualanganku pagi itu.
            Bergegas motorku melaju ke SLB Putra Pertiwi, lokasinya memang tak jauh dari rumahku, hanya 5 menit sudah sampai. Di jalan sebelum masuk gerbang bertemu Wawan, salah seorang murid SLB di sana yang sedang membeli sayur. Langsung saja aku mengikuti motor Wawan dari belakang. Seusai memarkirkan motor, begitu takjubnya hati ini ketika berdiri tegak di SLB Putra Pertiwi. Hening, sunyi dan tentram itulah kesan pertama kali yang aku rasakan.
Foto bersama mereka (Wawan, Septi, Puji, Novi, Imam dan
Mbak Utami) 
     Mbak Utami pun menghampiriku, mengajak ku untuk ikut berkumpul dengan teman-teman yang lain. Ku tengok, ternyata Wawan dan teman-temannya sedang sarapan bersama. Sembari menunggu teman-teman selesai makan saya pun mulai membuka pembicaraan dengan mbak Utami. Tentunya bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) menjadi bahasa komunikasi andalanku, Ku tanyakan begini :
“Mbak, yang masak semua anak-anak?”
“Tidak, ibu asrama yang menyiapkan semua”
“Anak-anak di sini pada nginep di asrama, banyak mbak ?”
“Iya di asrama, banyak ini ada 9 di kamar perempuan dan 3 orang di kamar laki-laki sebelah sana”.
“Sudah banyak yang pulang, kan sudah libur, Mas”.
       Anak yang telah usai makan pun mulai gusar melihat aku berkomunikasi dengan mbak Utami, mungkin dalam benaknya ada orang baru siapa ya ? Mbak Utami pun memperkenalkan aku pada siswa-siswa di sana. Namanya Budi Wicaksono, dia normal. Rasa antusias langsung menyelimuti mereka yang baru bertemu dengan ku. Ku sapa mereka dengan bahasa isyarat, sepertinya mereka menyambut baik kedatanganku, Alhamdulillah.  
       Saya Septi, saya Ayu, saya Puji, saya Giar, saya Fia, saya Imam. Semua memperkenalkan satu persatu dan mengerubungiku. Saya bilang selesaikan makannya, lalu kita berkumpul bersama, kita akan belajar bersama. Mereka pun setuju dan bergegas menyelesaikan makan mereka.
        Di luar dugaan, padahal aku ke SLB hanya ingin melakukan observasi untuk penelitian skripsiku nanti, malah aku disiapkan sebuah ruangan untuk mengajar anak-anak di sana. Tanpa persiapan materi apapun, Bismillahirrahmanirrahim baiklah, karena anak-anak di sini masih susah dan malu untuk berkomunikasi maka hal pertama yang saya ingin ajarkan adalah bahasa isyarat. Sebelumnya saya menjelaskan terlebih dahulu, perbedaan bahasa isyarat yang mereka gunakan di sekolah dengan bahasa isyarat Indonesia.
      Well, dari sini saya menangkap beberapa catatan. Beberapa di antara mereka masih ada yang tidak mau menggunakan bahasa isyarat karena susah. Selain itu, mereka lebih nyaman untuk berkomunikasi secara oral dan memaksakan suara mereka keluar. Rasa percaya diri mereka pun belum terbentuk sama sekali, terbukti ketika disuruh untuk mempraktikan bahasa isyarat masih terkesan malu-malu kucing. Paling penting konsentrasi mereka dalam belajar bahasa isyarat Indonesia belum fokus, dijumpai masih ada yang bermain handphone sendiri, bergurau bersama teman daripada memperhatikan saya, sang tutor.
       Saya tidak akan menyalahkan mereka, justru saya harus mengeluarkan strategi khusus dan model belajar yang menyenangkan untuk mereka. Show up pun dimulai dengan menyelipkan games  dalam belajar bahasa isyarat Indonesia dinilai cukup berhasil. Evaluasi penguasaan bahasa isyarat pun saya lakukan per individu dengan melihat kemampuan dan daya tangkap mereka. Alhamdulillah , materi dasar seperti abjad, angka sudah mereka kuasai ditambah lagi bahasa isyarat yang sering digunakan sehari-hari saya bagikan mereka untuk dipelajari.
    Let’s move guys, itu yang selalu saya tekankan pada teman-teman tunarungu. Kita boleh menggunakan sistem bahasa isyarat (SIBI) untuk berkomunikasi. Tetapi, alangkah lebih bijak jika kalian berusaha menggunakan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO). Bukankah BISINDO merupakan bahasa ibu kalian dan identitas kalian ? Jangan ragu untuk belajar ya, itulah pesan yang saya utarakan kepada mereka. Saya juga menambahkan, jika teman-teman menggunakan BISINDO niscaya teman-teman normal bisa berkomunikasi dengan kalian. Jujur, menggunakan SIBI itu terlalu cepat dan susah untuk memahami apa yang kalian sampaikan.
       Lanjut lagi, saya katakan pada mereka kalau kalian harus memiliki rasa percaya diri. Semua sama, entah itu tunarungu maupun normal. Kita tidak boleh membeda-bedakan. Untuk memperkuat pesanku, saya putarkan sebuah video dari program peduli. Mereka kembali menyimak, kebetulan dalam tayangan tersebut ada interpreter sign languange (ISL) nya, mereka pun senang, dan menunjukkan jari tangan mereka pada bagian kotak kecil dibawah tayangan tersebut.
        Pembelajaran pun kembali berlanjut, kini saya mengeluarkan sebuah media, yakni kamus bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) yang dapat dipasang pada smartphone mereka. Saya tunjukkan kepada mereka, betapa penasaran dan antusiasnya mereka, sampai-sampai mereka antri untuk meminta kiriman kamus tersebut. Well, senang rasanya. Ku pinta mereka untuk belajar mandiri, agar belajarnya tidak terputus di hari itu saja.
      Kurang puas, tiba-tiba ada yang bertanya padaku begini : “ Teman tuli, apakah bisa kuliah?” Kembali lagi saya harus mengahadpi pertanyaan seperti ini. Baiklah saya jawab dengan sebuah video dari Nur Latifah, mahasiswa tunarungu yang berhasil kuliah di Universitas Brawijaya, Malang. Video tersebut setidaknya dapat menjawab rasa penasaran mereka. Terinspirasi dari tayangan yang diputar, mereka pun menargetkan cita-cita. Ku tanya, apa cita-cita kalian ? Tak sedikit yang menjawab ingin menjadi guru, Subhanallah, bangganya hati ini mendengar jawab mereka. Giar, dan Fia siswa yang masih SD sudah kepikiran untuk mengajar adik-adiknya nanti di sana kelak.
       Saya pun diajak berkeliling sekolah. Diperlihatkan ruangan belajar mereka, dan diperkenalkan dengan kepala sekolah yang sangat ramah. Sempat mengobrol singkat dengan ibu Tri terkait keberadaan teman-teman tunarungu di SLB ini. Setiap lorong kelas mereka jelaskan padaku satu persatu. Tidaklah banyak kapasitas siswa untuk satu kelasnya. Ada 4-5 orang bahkan ada yang hanya 2 orang. Dalam hati kecilku berujar :” Betapa beruntungnya, dapat mengajari mereka dengan ekstra kesabaran. Dengan segala kekurangan yang mereka sandang, namun ada potensi yang mereka pendam.”  
        Saya pun takjub ketika melihat lemari koleksi piala, Subhanallah begitu bergetar hati ini, ada juara 1 Lomba Pantomim Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tahun 2015 yang baru-baru ini digelar diraih oleh Wawan. Dengan bangga Wawan yang saat itu mendampingiku pun menunjukkannya.
         Tiba-tiba ada pertanyaan muncul seperti ini, Bapak Budi besok jadi guru di sini saja ? Guru-guru di sini masih sedikit. Kami doakan supaya cepat lulus dan mengajar kami di sini. Tak bisa mengungkapkan apa-apa ketika mereka berharap lebih padaku, Insya Allah dan ku Amin-i  doa mereka. Belum puas, mereka pun memintaku untuk berkunjung kembali, belajar bersama. Sederhana, mereka ingin belajar design , membuat kartun dan menggambar.

Libur telah tiba...
Simpanlah tas dan bukumu
Sampai bertemu tanggal 4 Januari 2015 mendatang....
Ayu, Septi, Puji, Shidiq, Imam, Awal, Giar, Fia, Utami, Wawan, dkk..



-always smiling to inspire others 

Jumat, 04 Desember 2015

Refleksi Hari Difabel Internasional 2015


Dimuat Selasar.com
Kamis, 3 Desember 2015 | 15.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Setiap tanggal 3 Desember selalu diperingati sebagai Hari Difabel Internasional (HDI), dimana pada tanggal tersebut negara seantero dunia memperingatinya sebagai wujud kepedulian dan perjuangan kaum difabel dalam pemenuhan haknya, tak terkecuali Indonesia. Secara tegas Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan Resolusi Nomor A/61/106 tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilitiy (CRPD) yang memuat hak-hak kaum difabel dan mengatur langkah-langkah untuk menjamin pelaksananaan konvensi tersebut. Mengingat pentingnya penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM bagi kaum difabel, pemerintah Indonesia pun menandatangani resolusi tersebut pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Tentunya komitmen ini dibuktikan dengan meratifikasi Konvensi tersebut dengan meratifikasi yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilitiy (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan telah disahkan pada 18 Oktober 2011. Regulasi hukum ini menjadi harapan bagi difabel di Indonesia untuk mendapatkan keadilan, kesetaraan dan terbebas dari diskriminasi.
            Meskipun konvensi Internasional maupun dalam konstitusi Indonesia telah tegas perlindungannya secara normatif, namun dalam kenyataannya, hak-hak kaum difabel di Indonesia masih mengalami perlakuan diskriminatif serta ketidakadilan.
Difabel, Apa itu ?
            Seiring dengan perkembangan sejarah perubahan sosial dari masa ke masa, pemahaman orang terhadap keberadaan penyandang cacat, kelompok berkebutuhan khusus, penyandang ketunaan, difabel, penyandang disabilitas atau yang secara internasional dikenal dengan disabled people atau persons with disability , atau istilah lain yang dimaksudkan untuk merujuk pada subyek yang sama pun telah mengalami banyak perubahan. Secara garis besar, ada beberapa konsep dalam perkembangan sejarah perubahan sosial serta teori difabilitas yang cukup dominan. Pertama, pandangan medis/ individual yang memandang kecacatan sebagai sebuah permasalahan individu. Kedua, konsepsi kecacatan sangat dekat dengan paham normalisme yang didesain oleh para profesional medis dengan standar-standar keilmuan secara sepihak. Ketiga, konsepsi kecacatan dinilai tidak konsisten dengan nilai teologis yang menempatkan manusis sebagai makhluk ciptaan yang memiliki derajat tertinggi sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka Tuhan tidak pernah salah dengan ciptaan-Nya. Melihat konsepsi kecacatan di atas, difabel (differently abled people) ditawarkan karena dipandang lebih mengakomodir serangkaian kritik, di samping juga upaya mendekonstruksi gambaran negatif dari konsepsi kecacatan atau penyandang cacat.
            Penggunaan istilah difabel mencoba melepaskan hubungan keterbatasan fungsi (fungsi atau mental), hambatan aktivitas serta ketidakberuntungan sosial. Konsepsi ini juga menggeser standar normalisme sebagai sebuah realitas. Lebih lanjut lagi konsepsi tentang difabel tidak menempatkan satu kelompok sebagai yang inferior dan yang lain sebagai superior. Istilah difabel secara obyektif dirasa lebih adil dengan mengedepankan paengakuan atas keberbedaan dan bukan ketidakmampuan atau kecacatan. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 mengatur penggunaan istilah difabel di Indonesia.
Stigma Negatif
            Masyarakat kita masih memandang difabel sebagai sebuah aib besar karena difabel identik dengan kecacatan yang disandangnya. Hal ini memicu prespektif masyarakat kalau difabel merupakan seseorang yang potensial bermasalah dan sepenuhnya mengharap belas kasihan dari orang lain. Stigma tersebut harus dirubah di masyarakat karena sejatinya difabel jika mendapatkan layanan pendidikan dan informasi secara tepat, maka potensi yang mereka miliki dapat berkembang secara optimal, perlu disadari juga kalau keterbatasan secara fisik tidak akan menghapus dan menghalangi hak mereka sebagai warga negara.
Menata Perjuangan Difabel
            Upaya melepaskan diri dari cara pandang masyarakat dan perlakuan yang diskriminatif tak khayal melahirkan perlawanan dari kaum difabel. Dinamika perjuangan kelompok difabel saat ini masih mudah dipecahbelah oleh berbagai kepentingan dari luar. Salah satunya melalui model yang menjebak terbentuknya pola pikir kaum difabel untuk selalu membuka tangan ke atas alias menjadi peminta belas kasihan dari orang lain. Memang hal ini tidak hanya terjadi pada kelompok difabel saja, kelompok miskin dan orang-orang yang sudah putus asa karena sistem yang tidak menguntungkan pun memilih sikap yang sama.
            Pendirian usaha bersama secara serius dan masif untuk kelompok difabel dengan pasar difabel yang jumlahnya jutaan orang sedikit membuka mata dan menjadi alat perlawanan yang ampuh terhadap kebijakan yang tidak masuk akal. Jelas hal ini merupakan bukti nyata program yang mampu menyelesaikan permasalahan difabel terkait keterbatasan akses ataupun masalah ketenagakerjaan. Tentunya jika perjuangan untuk memberikan kesejahteraan bagi sesama difabel, jiwa sukarela diperlukan untuk keberhasilan program bersama. Gagasan-gagasan baru yang kiranya dapat membangun kepentingan dan penyelesaian masalah difabel secara intens harus didorong dengan pemikiran yang matang. Dengan saling mengapresiasi dan menghargai dapat menjadi momentum utama dinamika kelompok difabel.
Mari kawal CRPD di Indonesia
            Convention on the Rights of Persons with Disability atau yang biasa kita kenal sebagai CRPD merupakan konvensi mengenai hak difabel yang telah mendapat status legal penuh pada bulan Mei 2008. Negara-negara yang telah menandatangani konvensi ini harus melaporkan setiap 4 tahun mengenai pemenuhan hak-hak difabel. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 dalam konvensi ini yakni negara wajib memajukan, melindungi dan menjamin pemenuhan secara menyeluruh dan seimbang semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang difabel untuk meningkatkan penghormatan bagi martabat yang melekat pada mereka. Adapun pemenuhan hak-hak difabel dalam berbagai aspek kehidupan yang termuat dalam CRPD antara lain :
1. Pendidikan Inklusif pada Pasal 24 CRPD
2. Kesehatan pada Pasal 25 CRPD
3. Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, serta Akses Terhadap Informasi pada Pasal 21 CRPD
4. Pekerjaan dan Lapangan Kerja pada Pasal 27 CRPD
5. Standar Kehidupan dan Perlindungan Sosial Yang Layak pada Pasal 28 CRPD
6. Partisipasi Dalam Kehidupan Politik dan Publik pada Pasal 29 CRPD.
            Bagaimana dengan negara kita, Indonesia ? Apakah negara kita konsisten dengan pemenuhan hak difabel ini ? Sekali lagi ingat setiap 4 tahun negara wajib melaporkan mengenai pemenuhan hak-hak difabel sebagai konsekuensi penandatanganan konvensi ini benar-benar dilaksanakan. Empat tahun lalu tepatnya 18 Oktober 2011 pada Sidang Paripurna DPR yang dihadiri seluruh fraksi dan Komisi VIII sepakat untuk mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilitiy (CRPD) sebagai undang-undang maka tiba saatnya di tahun 2015 ini, pemerintah Indonesia melaporkan pelaksanaannya dan merefleksi kembali hak-hak difabel apa yang belum terpenuhi, sudilah kiranya. Nothing about us without us. Selamat Hari Difabel Internasional Tahun 2015.

https://www.selasar.com/budaya/refleksi-hari-difabel-internasional-2015

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan 
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang 


Minggu, 22 November 2015

Pilkada Ramah Difabel

Dimuat Selasar.com
Kamis, 19 November 2015 | 20.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*


Tak lama lagi, bangsa kita akan menyelenggarakan perhelatan akbar pesta demokrasi yaitu pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada tanggal 9 Desember 2015. Sebuah momentum yang menentukan keberlanjutan pemerintahan daerah di negeri ini. Dalam perhelatan demokrasi ini, setiap warga negara wajib diakomodasi hak mereka dalam menyalurkan suara untuk memilih pemimpin yang dinilai layak untuk membawa daerahnya ke dalam kondisi pemerintahan yang lebih baik.
Namun, tidak dapat dipungkiri berbagai kelompok rentan seperti pemilih pemula, serta kelompok pemilih difabel acapkali terabaikan dalam proses penyelenggaraan demokrasi. Berbagai hambatan lingkungan maupun sosial seringkali mengabaikan proses penyelenggaraan pesta demokrasi ini.
Seharusnya kita memastikan agar akses informasi yang luas dapat tersampaikan dalam rangka mendorong partisipasi kelompok di atas sebagai pemilih cerdas yang dapat menggunakan hak pilih mereka secara cerdas.
Berdasarkan data ASEAN General Election for Disability Access (AGENDA), difabel di seluruh dunia tercatat mencapai 15 persen dari total jumlah penduduk. Sementara jumlah difabel di Asia Tenggara mencapai 90 juta orang dari 600 juta penduduk dan untuk Indonesia berdasarkan data Susenas tahun 2003 jumlahnya diperkirakan 2.454.359 jiwa.
Terkait data difabel memang masih mengundang banyak perdebatan karena jumlahnya bisa jauh lebih banyak dibandingkan data tersebut. Oleh sebab itu, komisi pemilihan umum (KPU) seharusnya melibatkan mitra difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabel.
"Oleh sebab itu, komisi pemilihan umum (KPU) seharusnya melibatkan mitra difabel secara maksimal dalam merancang sistem pemilihan yang aksesibel bagi seluruh ragam difabel"
Pertanyaannya adalah apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai  penyelenggara Pilkada Serentak nanti benar-benar siap mengakomodasi suara pemilih difabel mulai terkait soal lokasi tempat pemungutan suara (TPS) hingga bentuk bilik suara? Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan data pemilih difabel dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang akan menjadi basis data Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) saat pemungutan suara.
Belum dipisahkannya data pemilih difabel juga disebabkan oleh kurangnya kontribusi keluarga yang memiliki anggota difabel untuk mencakupkan pemilih difabel dalam Pilkada ini. Banyak keluarga yang menganggap difabel adalah “aib”. Hal ini terjadi mengingat kuatnya stigma negatif yang menempatkan warga difabel sebagai warga kelas dua.
Adapun beberapa kendala bagi pemilih difabel dalam Pilkada 9 Desember nanti di antaranya: lokasi TPS yang menyulitkan pemilih, minimnya data pemilih difabel yang berimplikasi pada minimnya sarana bag pemilih difabel, sosialisasi Pilkada bagi difabel yang kurang masif dan dengan menggunakan media yang kurang aksesibel serta terjaminnya kerahasiaan pilihan walaupun pemilih harus didampingi di bilik suara.
Bila kita mengabaikan beberapa catatan ini, itu berarti mencederai demokrasi kita. Bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Difabel yang berarti Indonesia harus siap menegakkan delapan prinsip CRPD yakni : penghormatan atas martabat yang dimiliki, otonomi dan kemandirian individu, non – diskriminasi, partisipasi secara penuh dan efektif, inklusi keikutsertaan masyarakat, penghormatan atas perbedaan dan penerimaan terhadap difabel sebagai bagian dari kemanusiaan dan keragaman manusia, kesempatan yang sama, aksesbilitas, kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, penghormatan atas kapasitas anak difabel dan hak mereka untuk mempertahankan identitasnya.
Sekarang waktunya segenap pihak bersama-sama bergandeng tangan menyiapkan Pilkada Serentak 9 Desember  agar ramah dengan difabel dengan cara menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilihan agar lebih manusiawi. Pilkada yang manusiawi menciptakan inklusivitas dalam pemerintahan ke depan. Salam Kesetaraan! 
"Sekarang waktunya segenap pihak bersama-sama bergandeng tangan menyiapkan Pilkada Serentak 9 Desember  agar ramah dengan difabel dengan cara menjadikan dokumen CRPD sebagai acuan dalam menata sistem pemilihan agar lebih manusiawi"


*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Senin, 16 November 2015

Nothing about us without us




" Pertama kalinya ada kegiatan sosialisasi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)
di arena Car Free Day Alun-alun Kebumen. Mendapatkan antusias yang luar
biasa dari masyarakat
Semangat belajar ! "
Always smiling J




" Bertemu dengan teman baru, Nanda (kiri) dan Rima (kanan)
Nanda merupakan penyandang cerebral palsy ringan yang memiliki semangat belajar yang luar biasa
sedangkan Rima merupakan penyandang tunarungu yang memiliki semangat memberikan ilmu yang dimilikinyamengajarkan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO)."
Always smiling J

Surat Untuk Adik 2015 (Balasan 2) Esmiralda Laulu, Kabupaten Maluku Utara

Untuk  : Adik Esmiralda Laulu
Dari     : Kakak Budi Wicaksono
Halo adik Alda, salam kenal ya, kakak sudah menerima surat balasanmu, tulisanmu amatlah menawan dik, sungguh.


Wah senang rasanya membaca cerita adik tentang tradisi Tsonobak, semoga suatu saat kelak kakak bisa berkunjung ke desa adik, doakan ya ! Berbicara tentang cita-cita adik yang ingin menjadi seorang bidan, kakak sangat mendukung dan mendoakan semoga cita-cita adik dapat tercapai, belajar yang giat ya dik mulai dari sekarang. Semoga nanti adik bisa main ke pulau Jawa dan bisa bertemu dengan kakak. Berbicara mengenai cita-cita, kakak ingin bercerita nih dik tentang pengalaman kakak mengajar bersama teman-temanmu di Pasinaoan Lokadhita (tempat belajar bahasa daerah). Oh iya dik, kalau adik nanti ingin merantau ke pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah, adik pasti tidak akan asing dengan bahasa Jawa. Itu bahasa daerah kami, kalau di tempat adik bahasa daerahnya apa nih ? nanti ajarin kakak ya ?
Jadi di Pasinaoan Lokadhita, adik-adik belajar bahasa Jawa bersama, kami biasanya belajar di hari Sabtu atau Minggu. Oh ya rata-rata sama seumuran denganmu loh dik, ayo kapan-kapan kamu harus gabung ! Di sini kami belajar sambil bermain lho, seru kan ? Baru-baru ini kami belajar tentang angka. Kalau di bahasa Jawa sendiri, angka satu itu setunggal, dua itu kalih, tiga itu tigo, empat itu sekawan, lima itu gangsal, enam itu enem, tujuh itu pitu, delapan itu walu, sembilan itu sanga, sepuluh itu sedasa. Mudah kan dik ? Untuk mengingatnya kakak membuat sebuah permainan bersama adik-adik di Pasinaoan Lokadhita lho, mau tahu cara mainnya ? Gampang kok, lagunya begini kira-kira, pasti kamu bisa
Do – mi – ka – do – mi –ka – do – esktra
Ekstra – do – esktra – do – be – ya – be- yo
Hip- hip – setunggalkalihtigosekawangangsalenempituwalusangasedasa.
Begitu dik lagunya, kami melingkar dan tangan kami saling menepuk satu sama lain, seru kan ? kamu bisa praktekkan bersama teman-temanmu di sana, lho...

Oh ya setelah kami belajar angka dalam bahasa Jawa, kemudian kakak mengajak teman-teman di Pasinaoan Lokadhita untuk membuat burung dari kertas, untuk apa ? untuk menuliskan cita-cita kami setelah belajar. Kakak bercerita tentang cita-cita Alda pada teman-teman di sana, nah teman-teman di Pasinaoan Lokadhita pun memiliki cita-cita yang beragam lho, ada yang ingin jadi dokter, guru, perawat dan sebagainya, semua menuliskan cita-citanya di burung yang kami buat dari kertas untuk selanjutya kami gantungkan dengan benang agar bisa terbang, hehe...Seru kan ? kamu mau mencobanya ? Ayo ikut mencoba dik..nanti tuliskan cita-citamu di sana ya. Sekian dahulu cerita dari kakak, tentunya kakak menunggu balasan surat dari adik. Oh iya ada kenang-kenangan yang kakak kirimkan buat adik, semoga adik suka ya, salam untuk keluarga adik Alda. 


Minggu, 26 Juli 2015

Difabel Berwisata, Kenapa Tidak ?


Dimuat Selasar.com
Minggu, 26 Juli 2015 | 06.00 WIB 

Oleh : Budi Wicaksono*



         
         Saat musim lebaran seperti ini, umumnya masyarakat disibukkan dengan  ritual mudik ke kampung halaman. Setelah sampai di kampung halaman, biasanya mereka berkumpul bersama sanak famili setelah sekian lama tidak bertemu. Untuk melepas kepenatan dan rasa rindu, tempat wisata menjadi pilihannya. Tempat wisata di kala musim libur lebaran seperti saat ini diprediksi akan kebanjiran pengunjung dibandingkan dengan hari-hari biasanya.
Tahukah di balik euforia kita merayakan moment libur lebaran ke sejumlah tempat wisata, ada hal yang tidak kita pikirkan bahkan jarang untuk memikirkannya. Ya, nasib para penyandang difabel. Di moment liburan seperti saat ini, apakah mereka merasakan euforia yang sama dengan kita? Dapat mengunjungi tempat wisata bagi mereka seakan hanya mimpi di siang bolong.
Memberikan kesempatan difabel untuk berwisata dapat kita maknai dengan pemenuhan hak bagi mereka untuk berekreasi dan berinteraksi sosial. Namun yang menjadi permasalahan, terkadang mereka masih terpenjara oleh stigma dan pengucilan di masyarakat. Stigma negatif dari masyarakat umum tentang kekurangan yang disandang mereka yang dianggap merepotkan berujung pada dampak psikis bagi keluarga mereka untuk membawa dan mengajak berlibur ke tempat wisata. Rasa malu kerap menyelimuti mereka. Terlebih dengan pengucilan di masyarakat yang membuat penyandang difabel tidak leluasa untuk keluar rumah dan cenderung menutup diri di rumah.
Pengelola tempat wisata pun seakan menutup akses bagi penyandang difabel untuk berekreasi. Alasan yang mereka lontarkan biasanya karena belum adanya akses jalan khusus bagi si difabel, dengan kata lain tempat wisata belum bisa terakses oleh difabel. Ada beberapa tempat wisata memang yang dapat diakses oleh penyandang difabel seperti  kebun binatang, pantai, taman pintar, dan beberapa monumen. Tempat wisata yang disebutkan tadi sebenarnya secara tidak sengaja memiliki setting yang dapat diakses difabel sehingga tidak perlu menambahkan sarana akses tambahan.
Di Jakarta misalnya, ada Jakarta Barier Free Tourism sebuah komunitas yang digagas oleh Ibu Cucu Saidah dan Faisal Rusdi bagi penyandang difabel untuk kegiatan jalan-jalan. Komunitas ini dibangun dengan misi terhadap penyandang difabel dan masyarakat dari segala kalangan karena minimnya terhadap fasilitas dan perilaku publik yang kerap menjadi hambatan bagi penyandang difabel untuk menikmati kebebasan. Lewat kegiatan jalan-jalan ke tempat wisata mereka mengajak untuk berani keluar rumah dengan tetap mengomunikasikan bahwa mereka sejatinya adalah bagian dari masyarakat. Jakarta Barier Free Tourism merupakan salah satu contoh role model pergerakan peyandang difabel terhadap minimnya akses untuk menikmati tempat wisata. Ini dapat menjadi angin segar bagi teman-teman difabel tentunya, bukan begitu ?
Bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga difabel, ajaklah mereka keluar untuk membuka diri dengan lingkungannya. Sejatinya ini akan menanamkan rasa percaya diri pada mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat. Teruntuk pengelola tempat wisata sudah seharusnya ada perhatian khusus untuk penyediaan akses bagi penyandang difabel. Intinya diperlukan komunikasi yang intens untuk membangun hal ini agar tidak ada salah persepsi di antara anggota masyarakat. Memberikan  pengertian dan edukasi kepada masyarakat terkait hal ini, dalam jangka panjang akan membuat mereka menerima dan tidak akan lagi anggapan yang menyatakan bahwa penyandang difabel adalah kaum yang aneh, lemah dan termarjinalkan, tetapi justru dapat saling berdampingan bahkan menguatkan satu sama lain. Selamat berlibur, salam kesetaraan untuk kita semua.

https://www.selasar.com/budaya/difabel-berwisata-kenapa-tidak

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang