Kamis, 09 Juli 2015

Eksistensi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)

Dimuat di Selasar.com
Kamis, 09 Juli 2015 | 15.00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*

Abjad Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang menggunakan kedua tangan
via id.wikipedia.org
Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia, melalui bahasa manusia dapat berinteraksi dengan manusia lainnya. Bahasa juga merupakan kunci penguasaan ilmu pengetahuan dimana ada proses pertukaran informasi yang dapat menambah pemahaman manusia akan sesuatu yang disampaikannya. Sama halnya dengan bahasa pada umumnya, bahasa isyarat tidak lepas dan tidak dapat dipisahkan dari penyandang tunarungu. Mengapa demikian ? Bahasa isyarat sangat penting karena membantu perkembangan bahasa, kognitif dan kematangan sosial penyandang tunarungu. Terlepas dari itu semua bahasa isyarat mengantarkan penyandang tunarungu untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan lingkungannya.
Di Indonesia ada dua bahasa isyarat yang digunakan. Pertama, Sistem Bahasa Isyarat Indonesia atau SIBI. Kedua, Bahasa Isyarat Indonesia atau BISINDO. Apa perbedaanya ? SIBI merupakan bahasa isyarat yang diciptakan oleh Alm. Anton Widyatmoko mantan kepala sekolah SLB / B Widya Bakti Semarang bekerjasama dengan mantan kepala sekolah SLB / B di Jakarta dan Surabaya tanpa melalui musyawarah dan persetujuan dari Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia atau GERKATIN yang pada akhirnya mengeluarkan sebuah produk kamus bernama SIBI. Kamus SIBI telah diterbitkan oleh pemerintah dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah khususnya SLB / B untuk penyandang tunarungu di Indonesia sejak tahun 2001. SIBI hanya dapat digunakan sebagai bahasa isyarat di sekolah dan tidak dapat dipergunakan sebagai bahasa isyarat komunikasi sehari-hari penyandang tunarungu dalam berkomunikasi.
SIBI tidak dapat digunakan dalam komunikasi sehari-hari penyandang tunarungu karena penerapan kosa kata yang tidak sesuai dengan aspirasi dan nurani kaum tunrungu, terlebih penerapan bahasa yang terlalu baku dengan tata bahasa kalimat bahasa Indonesia yang membuat kesulitan kaum tunarungu untuk berkomunikasi. Kemudian dalam SIBI ditemukan banyak pengaruh alami, budaya dan isyarat tunarungu dari luar negeri yang sulit dimengerti, sehingga memang benar SIBI sulit dipergunakan oleh kaum tunarungu untuk berkomunikasi.
Berbeda dengan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) yang belakangan ini mulai diperjuangkan oleh Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN). BISINDO merupakan bahasa isyarat alami budaya asli Indonesia yang dengan mudah dapat digunakan dalam pergaulan isyarat kaum tunarungu sehari-hari. Kecepatan dan kepraktisannya membuat kaum tunarungu lebih mudah memahami meski tidak mengikuti aturan bahasa Indonesia sebagaimana yang digunakan SIBI.
Contoh penggunaan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) 
via : https://www.youtube.com/watch?v=rgTv3eKQ9QI

Saat ini yang menjadi problem kaum tunarungu adalah penggunaan bahasa isyarat yang akan mereka pakai dalam berkomunikasi ada dualisme di sana. Melihat banyak kaum tunarungu yang kesulitan menggunakan SIBI maka secara tidak langsung mereka akan kembali menggunakan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) sebagai alat komunikasi sehari-hari. Perlu kita ketahui bersama, keberadaan BISINDO hampir selama 33 tahun tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Mengapa ? karena pemerintah hanya mengakui keberadaan SIBI sebagai bahasa isyarat kaum tunarungu. Padahal jelas, jika kita menilik dari proses penyusunan, SIBI sama sekali tidak melibatkan kaum tunarungu untuk menyusun bahasa isyarat.
Abjad Sitem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI)
yang menggunakan satu tangan
via id.wikipedia.org

Sekarang tidak perlu kita menyalahkan adanya SIBI karena di sekolah-sekolah khususnya SLB / B pun masih diajarkan dan digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam pendidikan. Yang menjadi fokus kita adalah bagaimana mengembalikan kembali eksistensi bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) dapat digunakan oleh kaum tunarungu tanpa adanya paksaan sehingga dapat digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial.
Penulis secara sadar mengajak kepada para pembaca untuk ikut mengeksistensikan kembali bahasa isyarat Indonesia agar dapat digunakan sebagai alat komunikasi kaum tunarungu. Meskipun kita bukan penyandang tunarungu tetapi kita masih bisa belajar BISINDO, ya itu tadi karena kepraktisan BISINDO dibandingkan SIBI sehingga dapat dipelajari oleh siapa pun. Dewasa ini, BISINDO sedang gencar di sosialisasikan oleh Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) agar masyarakat umum tahu bahasa isyarat yang digunakan untuk berkomunikasi dengan kaum tunarungu melalui kegiatan seminar dan pelatihan. Harapannya semakin banyak orang yang tahu dan bisa menggunakan BISINDO maka eksistensi bahasa isyarat alami budaya asli Indonesia ini tidak akan hilang keberadaanya. Mari dukung penggunaan bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) agar diakui oleh pemerintah. Buka mata, buka hati untuk kesetaraan.
*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Founder Difable Care Community

Kamis, 02 Juli 2015

Surat Untuk Adik 2015 (Balasan 1) Esmiralda Laulu, Kabupaten Maluku Utara

Buat : Kakak Budi Wicaksono
Dari : Adik Esmiralda Laulu


Halo.... Kakak Budi.
Senang rasanya saat saya dapat menerima surat dari kakak Budi yang hebat. Cerita kakak sangat menarik dan gambar kakak di foto yang dikirim untuk saya sangat bagus. Oh iya perkenalkan nama saya Esmiralda Laulu, panggil saja Alda. Saya duduk di kelas 5 SD Kristen Adodo Molo. Jika sudah besar nanti memiliki cita-cita menjadi bidan, oleh karena itu saya harus rajin belajar dari sekarang.
Kalau kakak bercerita tentang aktivitas kakak, saya juga ingin bercerita tentang desa tempat saya tinggal. Saya tinggal di desa Adodo Molo, kecamatan Molo Maru. Ada satu tradisi yang khas di desa kami. Apakah kakak mau tau? Kalau mau tau datang ya ke desa kami karena dengan datang kakak akan merasakan sendiri. Tapi biar kakak tidak penasaran saya akan sdikit bercerita tentang tradisi dari desa kami.
Jadi di desa kami ada namnaya tradisi Tsnobak yaitu tradisi menyambut tamu luar desa yang baru datang untuk pertama kalinya ke desa kami. Ritual Tsnobak adalah ritual doa kepada nenek moyang yang dipimpin oleh ketua adat desa kami. Prosesnya kurang lebih seperti ini, sopi atau arak yang menjadi minuman adat didoakan oleh ketua adat kemudian disiramkan ke tanah. Setelah itu sisanya yang ada di dalam gelas diminum oleh tamu yang datang sampai habis. Tapi jika tamu tidak meminum minuman beralkohol, ketua adat hanya mempersilakan menempelkan gelas pada bibir seperti yang dilakukan para bapak guru kami dari Indonesia Mengajar yang datang biasanya tidak meminum minuman sopi saat Tsnobak.
Itulah sedikit cerita dari saya semoga kakak berkenan membacanya. Saya tunggu balasan dari kakak dengan cerita dari kakak yang lain lagi. Semoga kakak di sana baik-baik selalu. Doakan saya dapat mencapai cita-cita saya ya kak, biar suatu saat saya bisa pergi ke Jawa dan siapa tahu bisa bertemu dengan kakak.
Salam
Alda Laulu


Sabtu, 27 Juni 2015

Perguruan Tinggi Sudah Waktunya Inklusif


Dimuat dalam selasar.com
Sabtu, 27 Juni 2015 | 15:00 WIB

Oleh : Budi Wicaksono*



Pada musim pendaftaran mahasiswa baru seperti saat ini, entah itu Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) maupun Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) sedikit orang memperhatikan persyaratan khusus yang tertera dalam website pendaftaran mahasiswa baru.
Apakah kita tidak menyadari kalau adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa jika menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different ability people (difabel). Bagi kebanyakan orang normal seperti kita tidak menjadi masalah yang berarti, namun bagi teman-teman yang memiliki special need hal tersebut membuat mereka pesimis atas mimpi dan cita-cita mereka karena tidak adanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka secara tidak langsung terfilter oleh sistem tersebut dari awal.
"Apakah kita tidak menyadari kalau adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu,  dan tunadaksa jika menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different ability people (difabel)"
Negara dengan jumlah penduduk mencapai kurang lebih dua ratus tiga puluh juta jiwa ini belum memiliki data yang akurat untuk jumlah difabel. UCP Roda untuk kemanusiaan memperkirakan jumlah difabel di Indonesia mencapai 10% dari total populasi penduduk. Untuk jumlah anak-anak difabelnya sendiri mencapai 6,4 juta jiwa, mirisnya hanya sekitar 50.000 dari mereka yang dapat bersekolah. Tentunya jika situasi ini tidak berubah, bagaiaman nasib difabel Indonesia ke depannya ? Apakah mereka dapat berdaya ?
Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel. Dalam pasal 24 konvensi hak-hak difabel tentang pendidikan disebutkan setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah formal.
"Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel"
Salah jika kita menghambat difabel untuk memperoleh pendidikan atas alasan difabilitasnya yang dia sandang. Perlu digarisbawahi tidak semestinya setiap difabel belajar di sekolah khusus. Mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan bersekolah di sekolah yang dekat dengan lingkungan mereka, bersama dengan kawan sebaya, sepermainan tentunya dengan setting pendidikan yang inklusi.
Setting pendidikan inklusi yang mentransformasikan sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi peserta didik untuk berpartisipasi penuh memberikan kesempatan kepada difabel untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Adanya sekolah inklusi pada jenjang SD/MI , SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA membuktikan adanya komitmen dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sayangnya, setelah lulus dari jenjang tersebut teman-teman difabel sering dibenturkan pada pilihan sulit yakni bekerja, menganggur, atau melanjutkan studi.
Bagi teman-teman difabel yang ingin melanjutkan studi harus menjadi bahan pertimbangan karena masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memberikan akses pendidikan dan perhatian khusus pada difabel.
Perguruan Tinggi yang memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang. Kedua universitas tersebut tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan bagi teman-teman difabel namun juga aktif sebagai pelopor dalam bidang penelitian, kajian, dan pengabdian masyarakat kepada kaum difabel.
"Perguruan Tinggi yang memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang"
Melalui pusat studi layanan difabel atau yang biasa dikenal sebagai PSLD kedua universitas tersebut bergerak mengawali pendidikan inklusi. Sangat disayangkan jika dari sekian ratus perguruan tinggi di Indonesia, baru dua universitas yang mengawalinya. Keterbukaan menjadi syarat utama jika sebuah perguruan tinggi menginginkan menjadi inklusif. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas belajar serta pusat bantuan bagi difabel mendukung setting inklusivitas.
Pembatasan hak difabel dengan adanya persyaratan khusus masuk sebuah perguruan tinggi perlu kita tinjau ulang.  Bukankah dalam Undang-undang Nomor  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) mengamanatkan kalau setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, lebih lanjut lagi pada pasal 11, ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Jika undang-undang sudah mengamanatkan demikian bukan alasan lagi bagi kita untuk menciptakan perguruan tinggi inklusif selanjutnya.



*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang

Jumat, 22 Mei 2015

Universitas dan Disabilitas

Oleh : Budi Wicaksono*
           
            Sebulan lalu, saya berkunjung ke Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk menjawab rasa penasaranku terhadap universitas inklusi. Ya, universitas yang terletak di Jalan Marsda Adisucipto membuatku kagum. Ketika melewati sepanjang jalan di area kampus, saya disuguhi pemandangan berbeda yang tak bisa ditemui di kampus lain. Hampir di semua sudut bangunan universitas tersebut dilengkapi akses jalan khusus yang ditandai dengan rambu sebagai penandanya. Ini namanya ramp, jalan khusus bagi pengguna kursi roda dan tunanetra. Lanjut lagi, sahabatku menunjukkan sebuah gedung bernamakan Pusat Layanan Difabel (PLD), ditempat itulah layanan terhadap difabel diberikan. Tidak hanya akademik, PLD tetapi juga mencaku juga melayani masalah admisi dan capacity building bagi difabel. 
Pusat Layanan Difabel 
            Memang dukungan dan bantuan lembaga perguruan tinggi terhadap dunia disabilitas di Indonesia masih tergolong rendah. Terbukti dari sedikitnya universitas yang memiliki layanan khusus untuk penyandang disabilitas. Menurut Mimi Mariani, seorang aktivis tunanetra mengatakan lemahnya pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap disabilitas di Indonesia karena minimnya perhatian dunia pendidikan. Aktivis penyandang dua gelar master dari Universitas Indonesia dan University of Leeds, Inggris ini menambahkan pendidikan mengenai disabilitas di luar negeri diberikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Untuk di perguruan tinggi misalnya, di semua jurusan pasti ada satu semester tentang disability dan wajib diambil. Beliau menambahkan kalau kuliah di hukum pasti ada Law and Disability, kalau kuliah di ekonomi ada Economy and Disability dan bila di manajemen pasti ada Management and Disability, sehingga setelah mereka lulus dari universitas sudah punya pengetahuan betul tentang disabilitas.
            Disadari atau tidak, agaknya benar disinilah kekurangan pendidikan kita. Bukan hanya akses dan layanan terhadap penyandang disabilitas, namun pemahaman terhadap disabilitas itu sendiri masih minim. Buktinya, universitas yang memiliki jurusan, pusat studi, atau layanan khusus terhadap penyandang disabilitas masih sangat jarang. Bahkan universitas terkemuka sekalipun belum punya layanan fasilitas. Beberapa universitas yang memiliki perhatian khusus terhadap disabilitas selain Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Brawijaya Malang dan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.
Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra (PUSYAN)
            Pusat layanan difabel di universitas yang memiliki perhatian khusus terhadap difabel berbeda satu sama lain. Di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) misalnya, ada PUSYAN (Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra) yang merupakan bagian dari Laboratorium Jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Fakultas Ilmu Pendidikan bekerjasama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI).
Menurut koordinator PUSYAN, lembaga pelayanan ini didirikan dalam upaya mengatasi kendala dan masalah yang dihadapi para mahasiswa tunanetra di sana. Berbeda kalau di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ada lembaga pelayanan untuk kepentingan disabilitas yang memiliki Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus (PSIBK).
Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus (PSIBK) 
Meskipun USD merupakan universitas swasta namun dengan konsisten menyelenggarakan pendidikan dan latihan guru untuk sekolah-sekolah luar biasa, terutama sekolah khusus tunarungu. Di Universitas Brawijaya Malang ada Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) yang berusaha memberikan layanan yang komprehensif, menjangkau semua persoalan yang dibutuhkan warga kampus penyandang disabilitas.
Pusat Studi Layanan Difabel 
            Saat ini dibutuhkan penyadaran di kalangan universitas terkait layanan untuk mahasiswa disabilitas. Empat universitas yang sudah memiliki pusat studi layanan difabel bagaikan setitik air ditengah lautan perguruan tinggi di Indonesia. Terlalu kecil kesempatan yang kita berikan untuk penyandang disabilitas menempuh pendidikan di universitas. Terlalu sedikit pula universitas yang memberi perhatian terhadap hak memperoleh pendidikan ini.
            Layanan terhadap mahasiswa penyandang disabilitas di universitas secara garis besar terdiri dari tiga bagian utama, yaitu lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan akademik. Sebagai contoh lingkungan fisik, dapat dimulai dengan membangun fasilitas berupa ramp sekeliling kampus bagi dan jalur bagi pengguna tongkat berjalan. Selanjutnya membangun lingkungan sosial yang ramah dan tidak menjadikan penyandang disabilitas terasingkan, misalnya dengan membangun fasilitas kantin yang ramah terhadap penyandang disabilitas agar tetap terjadi interaksi yang baik antar mahasiswa baik penyandang disabilitas maupun non disabilitas. Terakhir membangun lingkungan akademik antara pengajar, materi yang akan disampaikan kepada mahasiswa penyandang disabilitas dengan kurikulum yang menyesuaikan dengan penyandang disabilitas yang bersangkutan.
            Tentunya untuk merealisasikan aksi-aksi tersebut dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak yang terkait dengan kegiatan perkuliahan, mulai dari pengajar hingga semua staf yang ada di dalam kampus. Salam Kesetaraan !

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang

Minggu, 26 April 2015

Kebumen Muda, Inspirasi Muda

Post by :




BUDI WICAKSONO, PENGGAGAS KOMUNITAS PEDULI DIFABEL
Budi –sapaan akrab pria bernama lengkap Budi Wicaksono– adalah mahasiswa yang kini tengah menjalani studi di jurusan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang, angkatan 2012. Dalam kehidupan sehari-hari, dia tampak biasa saja. Sebagai mahasiswa, dia menjalani berbagai pembelajaran perkuliahan, aktif berorganisasi di kampus, dan mengikuti kegiatan sosial. Di balik kesahajaannya, Budi memiliki langkah besar dan perhatian mendalam terhadap para difabel. Kepedulian tersebut diwujudkan melalui aksi nyata untuk kepentingan mereka.



Perkenalan dengan Difabel
Ketertarikan Budi terhadap difabel berawal dari keikutsertaanya dalam Kongres Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan se-Indonesia di Surakarta. Di sana, dia melihat banyak sekali problem pendidikan di Indonesia. Salah satu masalah yang dikaji adalah penyelenggaraan pendidikan khusus. Selain hadir sebagai peserta kongres, dia juga diundang dalam acara deklarasi Solo sebagai kota inklusi dan ramah anak. Hal itu menginspirasi pria kelahiran Kebumen, 25 September 1993, tersebut dalam membuat sebuah gerakan untuk difabel di tanah rantau Semarang. Pergerakan Budi dimulai dari kampus dengan menggagas komunitas peduli difabel. Awalnya, komunitas itu difokuskan untuk kegiatan pengabdian di beberapa sekolah luar biasa. Seiring berjalannya waktu, komunitas tersebut pun melayani mahasiswa difabel yang berkuliah di Unnes.
”Latar belakang terjun ke komunitas difabel adalah saya rasa tiada hidup yang sempurna. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Tinggal bagaimana cara kita mensyukuri pemberiaan Allah SWT. Salah satunya, berbagi dengan saudara-saudara kita yang memiliki different ability sehingga mereka mendapat aksesibilitas,” jelasnya.
Selain menggagas komunitas peduli difabel di kampusnya, Budi yang kini tengah disibukkan jadwal kuliah semester enam juga masih tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Kota Semarang (Gerkatin Semarang). Gerkatin Semarang sangat aktif dalam menyosialisasikan bahasa isyarat Indonesia (bisindo) yang dilaksanakan setiap pelaksanaan car free day. Selain itu, Gerkatin Semarang menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat dengan menjadi trainer (speaker) dalam pelatihan difabel.
Meski sibuk menjadi aktivis, si penyuka nasi goreng dan es teh tersebut sangat prestatif. Baru-baru ini, Budi masuk jajaran finalis mahasiswa berprestasi FIP Unnes dan meraih juara IV. Bahkan, makalah yang dia presentasikan tetap berkaitan dengan difabel. Dia mengangkat tema Media Pembelajaran untuk Menyosialisasikan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) kepada Teman-Teman Tunarungu. Sederet prestasi lain pun pernah ditorehkan Budi. Di antaranya, juara II lomba menulis esai blog Temu Inklusi dalam rangka Hari Difabel Internasional yang diselenggarakan Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab) Yogyakarta. Dalam lomba itu, dia mengangkat isu menggagas kampus inklusi. Dia beberapa kali didaulat untuk mengisi atau menjadi trainer dalam pelatihan yang diperuntukkan bagi kaum difabel di beberapa sekolah luar biasa (SLB). Dia juga merupakan salah seorang yang suratnya lolos dikirim ke NTT dengan inspirasi perjuangan difabel pada program Surat Untuk Adik (SUA) dari Youth’s Act for Indonesia (YAFI). Baru-baru ini, Budi bergabung dalam 50 mahasiswa inspirasi muda dan berkarya Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada bidang kajian difabel.


Meski menimba ilmu di tanah rantau dan aktif dalam berbagai komunitas di Semarang, Budi yang menghabiskan masa tumbuh usianya di Jalan Pemuda, Gang Mawar 10 B, RT 4, RW 3, Kebumen, tidak lantas melupakan tanah kelahirannya. Baru-baru ini, dia mengajar bisindo di komunitas difabel yang bernama Komunitas Difa. ”Saya terdorong mengajar bisindo di Komunitas Difa beberapa minggu lalu. Sebab, sejauh ini, belum ada sosialisasi penggunaan bisindo kepada masyarakat umum untuk berkomunikasi dengan penyandang tunarungu,” jelas Budi. Masalah itu disebabkan minimnya informasi tentang bahasa isyarat Indonesia. Padahal, komunitas difabel sewajarnya mengetahui penggunaan bisindo. Sebab, komunitas difabel menjadi awal mula pergerakan untuk difabel.
Komunitas difabel di Kebumen kurang masif dalam menyuarakan perjuangan dan pergerakan difabel. Hal tersebut disebabkan minimnya sumber belajar dan terbatasnya sumber daya manusia yang peduli dan terjun ke dunia difabel. Di kota lain, sudah tumbuh kesadaran untuk menggerakkan isu difabel dari penggerak-penggerak muda. Masalahnya, penggerak muda di Kebumen cenderung diam dan masih enggan menyuarakan isu itu. Ibu Iin –founder Komunitas Difa Kebumen– menyatakan, komunitas difabel di Kebumen hanya beranggota orang tua yang memiliki anak difabel. Mereka berkumpul untuk saling menguatkan satu sama lain tanpa adanya konsep kajian atau bahasan setiap kali berkumpul. Di kota lain, banyak sekali kaum muda yang merelakan waktunya untuk ikut menggerakkan isu difabel.

Harapan terbesar Budi untuk komunitas difabel di Kebumen adalah mampu menjadi motor penggerak dalam memasifkan isu difabel. Dengan begitu, keberadaan kaum difabel di Kebumen dapat diakui dan mereka bisa mendapatkan hak-haknya. Komunitas difabel di Kebumen juga diharapkan dapat menggugah masyarakat umum dengan prespektif yang lebih terbuka. Yaitu, masyarakat mau menerima keberadaan difabel dalam interaksi sosial. Dia berharap teman-teman muda di Kebumen ikut ambil bagian dalam membesarkan komunitas difabel yang sudah digawangi Ibu Iin. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan kegiatan yang bermanfaat bagi difabel di Kebumen. ”Nantinya, saya siap berbagi ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan di perantauan dengan kaum muda di Kebumen. Saya juga siap mengadakan kajian-kajian isu difabel dan pelatihan untuk difabel bersama Komunitas Difa di Kebumen. Saya berharap adanya komunitas difabel di Kebumen dapat memfasilitasi kebutuhan aksesibilitas difabel dalam menggagas Kebumen sebagai kabupaten yang ramah difabel,” ucapnya.
Pria yang memiliki hobi melukis, membaca, membaca puisi, dan menulis itu saat kecil bercita-cita menjadi arsitek. Seiring berjalannya waktu, dia menemukan apa yang menjadi fokus dan perhatiannya. Dia pun berharapan bisa mengembangkan model pembelajaran yang ramah bagi difabel. Kepada redaksi kebumenmuda.com, Budi menuturkan bahwa selama ini dirinya memiliki tokoh inspirasi. Yaitu, Ibu Een Sukaesih, guru qalbu yang mampu mengajar dengan segala keterbatasan. ”Yang beliau lakukan membuat saya kagum dan ingin menerapkan hal tersebut ketika saya menjadi pendidik,” tuturnya.
Di akhir perbincangan, Budi menyerukan slogan yang selama ini dia tulis. “Nothing about us without us”merupakan slogan perjuangan dan pergerakan difabel. Slogan tersebut memiliki filosofi yang sangat dalam. Yaitu, tentang diakui atau tidaknya para difabel saat mereka terlibat dalam sebuah kegiatan. Karena itu, difabel perlu diberi kesempatan dan keterlibatan untuk berinteraksi dalam kehidupannya.
”Makna kekuatannya dalam banget bagi saya. Kalimat tersebut mampu menjadi mantra agar aku tetap konsisten dan mampu berbuat lebih untuk difabel,” katanya.

Jumat, 17 April 2015

Surat Cinta Untuk Walikota Semarang

Kepada
Bapak Hendrar Prihadi, S.E, M.M
Walikota Semarang
Di Tempat

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Bapak Hendrar, apa kabar tuan ? semoga baik dan bahagia, sama sepertiku.
Tuan, ketika membaca surat ini, semoga tuan tersenyum dan kerutan di kening tuan berkurang. Kegelisahan memang selalu menghampiri setiap orang. Apalagi kepada pemimpin besar seperti tuan.
Apakah tuan tahu siapa diriku. Baiklah. Namaku Budi Wicaksono, seorang mahasiswa. Tenanglah tuan, jangan panik dan tegang dahulu mendengar statusku sebagai seorang mahasiswa. Jujur aku bukan mahasiswa yang senang ikut demonstrasi dan menuntut pemerintah tanpa solusi, percayalah.
Sekarang tuan bacalah surat cintaku. Cintaku bukanlah sekadar kata-kata. Bukan deretan orasi dan naskah berita. Tetapi cintaku ini adalah sebuah gagasan untuk Menuju Semarang Setara.
Ada gagasan yang ingin ku sampaikan sebagai upaya memberikan kontribusi untuk Semarang. Aku ingin menyuarakan hak teman-temanku penyandang disabilitas di Semarang. Begini tuan, Semarang merupakan kota besar yang merupakan ibukota provinsi Jawa Tengah. Hatiku iri melihat kota sebelah, sebutlah kota Solo mendeklarasikan sebagai kota inklusi dan layak anak. Inklusi merupakan sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan lingkungan yang semakin terbuka. Hal ini berarti bahwa adanya keterbukaan dan keramahan bagi semua, saling menghargai dan mengikutsertakan perbedaan karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.
Gagasan yang ingin ku kerucutkan di sini menyangkut persoalan pendidikan inklusif, tuan.Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun  2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pasal 3 ayat 2 Permendiknas ini menggolongkan siapa saja yang disebutkan memiliki keleluasaan dalam hal ini ada 10 kategori yakni : tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya memiliki kelainan lainnya, dan tunaganda.
Bukankah mereka bagian dari masyarakat Semarang juga, tuan ?  dan berhak atas pendidikan yang layak tanpa diskriminasi ? Tuan, pendidikan adalah salah satu jalan menjadikan individu sebagai agen perubahan, bukan sekadar penerima pasif program pemberdayaan. Merefleksi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa Sistem Pendidikan Indonesia harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Tuan, di Jawa Tengah tercatat 47 sekolah luar biasa (SLB) swasta dan negeri yang tersebar di tingkat kota dan kabupaten di Jawa Tengah. Demikian halnya di Semarang, tercatat kurang lebih 8 SLB yang meliputi SLB swasta dan negeri. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam angka 2006 tercatat penyandang disabilitas secara keseluruhan mencapai 1570 jiwa dan akan terus meningkat. Melihat fenomena di atas perlu adanya relokasi dan penambahan sarana dan prasarana yang akan meningkatkan pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas.
Tuanku, saat ini keberadaan sekolah luar biasa (SLB) sudah tidak efektif lagi. Rasio jumlah penyandang disabilitas dan guru tidaklah seimbang seiring bertambahnya jumlah penyandang disabilitas. Selain itu, kondisi di SLB mengekslusifkan penyandang disabilitas sendiri dalam mendapatkan layanan pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan layanan pendidikan yang fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi hal tersebut.
Balai Pengembangan Pendidikan Khusus (BP-DIKSUS) Dinas Provinsi Jawa Tengah merilis ada 44 sekolah inklusi di Semarang. Dari jumlah ini tuanku, seharusnya dapat dimaksimalkan penyelenggaraannya untuk membantu penyelenggaraan sekolah luar biasa (SLB). Tuanku, aku ingin mengajak para orang tua yang memiliki anak difabel untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jujur saya ingin mengubah stigma negatif masyarakat tentang keberadaan teman-teman disabilitas yang sering dianggap lemah dan remeh. Saat ini yang kita butuhkan adalah proses sosialisasi kepada masyarakat terkait penyelenggaraan sekolah inklusi selain membenahi sarana dan prasarana pendukung di sekolah inklusi.
Tuanku, saya berkeyakinan bahwa pendidikan inklusif merupakan sarana hidup dan belajar cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Tuanku, saya sebagai mahasiswa siap untuk ikut andil bagian dari penyelenggaran pendidikan inklusif di Semarang, untuk Semarang yang setara. Hal sederhana yang dapat kita  dilakukan adalah mengkaji kembali regulasi, penyelenggaraan dan historis melalui focus group discussion yang melibatkan semua komponen masyarakat Semarang.
Di sebuah malam yang syahdu ini, Budi ingin mengajak tuan untuk mewujudkan gagasan dan harapan yang sudah ku sampaikan tadi. Aku ingin tuan tersenyum dan kening tuan tidak berkerut lagi. Aku tak ingin lagi melihat tuan panik mendengar kata mahasiswa. Karena aku di sini sadar, mahasiswa akan membantu pemimpinnya jika terjadi masalah di negeri ini. Saatnya mewujudkan Semarang yang setara, tuan. Sudah dahulu tuan, sekali lagi tersenyum ya, jangan gelisah.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Semarang, 15 April 2015
Di bawah sinar rembulan, salam hormatku untuk tuan

Budi Wicaksono  

Selasa, 10 Maret 2015

Saatnya Perguruan Tinggi Inklusif

Oleh : Budi Wicaksono*
            Pada musim pendaftaran mahasiswa baru seperti saat ini, entah itu Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) maupun Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) sedikit orang memperhatikan persyaratan khusus yang tertera dalam website pendaftaran mahasiswa baru. Apakah kita tidak menyadari kalau adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu, tunadaksa jika menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different ability people (difabel). Bagi kebanyakan orang normal seperti kita tidak menjadi masalah yang berarti, namun bagi teman-teman yang memiliki special need hal tersebut membuat mereka pesimis atas mimpi dan cita-cita mereka karena tidak adanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka secara tidak langsung terfilter oleh sistem tersebut dari awal.
           
          Negara dengan jumlah penduduk mencapai kurang lebih dua ratus tiga puluh juta jiwa ini belum memiliki data yang akurat untuk jumlah difabel. UCP Roda untuk kemanusiaan memperkirakan jumlah difabel di Indonesia mencapai 10% dari total populasi penduduk. Untuk jumlah anak-anak difabelnya sendiri mencapai 6,4 juta jiwa, mirisnya hanya sekitar 50.000 dari mereka yang dapat bersekolah. Tentunya jika situasi ini tidak berubah, bagaiaman nasib difabel Indonesia ke depannya ? Apakah mereka dapat berdaya ?
            Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel. Dalam pasal 24 konvensi hak-hak difabel tentang pendidikan disebutkan setiap anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah formal. Salah jika kita menghambat difabel untuk memperoleh pendidikan atas alasan difabilitasnya yang dia sandang. Perlu digarisbawahi tidak semestinya setiap difabel belajar di sekolah khusus. Mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan bersekolah di sekolah yang dekat dengan lingkungan mereka, bersama dengan kawan sebaya, sepermainan tentunya dengan setting pendidikan yang inklusif.
            Setting pendidikan inklusif yang mentransformasikan sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi peserta didik untuk berpartisipasi penuh memberikan kesempatan kepada difabel untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Adanya sekolah inklusi pada jenjang SD / MI , SMP / MTs, dan SMA / SMK / MA membuktikan adanya komitmen dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sayangnya, setelah lulus dari jenjang tersebut teman-teman difabel sering dibenturkan pada pilihan sulit yakni bekerja, menganggur atau melanjutkan studi. Bagi teman-teman difabel yang ingin melanjutkan studi harus menjadi bahan pertimbangan karena masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memberikan akses pendidikan dan perhatian khusus pada difabel.

            Perguruan Tinggi yang memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang. Kedua universitas tersebut tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan bagi teman-teman difabel namun juga aktif sebagai pelopor dalam bidang penelitian, kajian, dan pengabdian masyarakat kepada kaum difabel. Melalui pusat studi layanan difabel atau yang biasa dikenal sebagai PSLD kedua universitas tersebut bergerak mengawali pendidikan inklusif. Sangat disayangkan jika dari sekian ratus perguruan tinggi di Indonesia, baru dua universitas yang mengawalinya. Keterbukaan menjadi syarat utama jika sebuah perguruan tinggi menginginkan menjadi inklusif. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas belajar serta pusat bantuan bagi difabel mendukung setting inklusivitas.
            Pembatasan hak difabel dengan adanya persyaratan khusus masuk sebuah perguruan tinggi perlu kita tinjau ulang.  Bukankah dalam Undang-undang Nomor  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) mengamanatkan kalau setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, lebih lanjut lagi pada pasal 11, ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Jika undang-undang sudah mengamanatkan demikian bukan alasan lagi bagi kita untuk menciptakan perguruan tinggi inklusif selanjutnya.

*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan Angkatan 2012
Fakultas Ilmu Pendidikan
Aktif dalam Difable Care Community