Dimuat dalam selasar.com
Sabtu, 27 Juni 2015 | 15:00 WIB
Oleh : Budi Wicaksono*
Pada musim pendaftaran mahasiswa
baru seperti saat ini, entah itu Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN)
maupun Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) sedikit orang
memperhatikan persyaratan khusus yang tertera dalam website pendaftaran
mahasiswa baru.
Apakah kita tidak menyadari kalau
adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu, dan
tunadaksa jika menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu
secara tidak langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap
teman-teman different ability people (difabel). Bagi kebanyakan orang
normal seperti kita tidak menjadi masalah yang berarti, namun bagi teman-teman
yang memiliki special need hal tersebut membuat mereka pesimis atas
mimpi dan cita-cita mereka karena tidak adanya kesempatan untuk mengenyam
pendidikan tinggi. Mereka secara tidak langsung terfilter oleh sistem tersebut
dari awal.
"Apakah kita tidak menyadari kalau adanya persyaratan khusus
seperti tidak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa jika menghendaki
memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak langsung
adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different
ability people (difabel)"
Negara dengan jumlah penduduk
mencapai kurang lebih dua ratus tiga puluh juta jiwa ini belum memiliki data
yang akurat untuk jumlah difabel. UCP Roda untuk kemanusiaan memperkirakan
jumlah difabel di Indonesia mencapai 10% dari total populasi penduduk. Untuk
jumlah anak-anak difabelnya sendiri mencapai 6,4 juta jiwa, mirisnya hanya
sekitar 50.000 dari mereka yang dapat bersekolah. Tentunya jika situasi ini
tidak berubah, bagaiaman nasib difabel Indonesia ke depannya ? Apakah mereka
dapat berdaya ?
Pemerintah sebenarnya telah melakukan
langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan
dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel. Dalam pasal 24 konvensi hak-hak
difabel tentang pendidikan disebutkan setiap anak mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah formal.
"Pemerintah sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap
pemenuhan hak-hak difabel dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi
hak-hak difabel"
Salah jika kita menghambat
difabel untuk memperoleh pendidikan atas alasan difabilitasnya yang dia
sandang. Perlu digarisbawahi tidak semestinya setiap difabel belajar di sekolah
khusus. Mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan
bersekolah di sekolah yang dekat dengan lingkungan mereka, bersama dengan kawan
sebaya, sepermainan tentunya dengan setting pendidikan yang inklusi.
Setting pendidikan inklusi
yang mentransformasikan sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan
yang dapat menghalangi peserta didik untuk berpartisipasi penuh memberikan
kesempatan kepada difabel untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Adanya
sekolah inklusi pada jenjang SD/MI , SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA membuktikan adanya
komitmen dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sayangnya,
setelah lulus dari jenjang tersebut teman-teman difabel sering dibenturkan pada
pilihan sulit yakni bekerja, menganggur, atau melanjutkan studi.
Bagi teman-teman difabel yang
ingin melanjutkan studi harus menjadi bahan pertimbangan karena masih
terbatasnya jumlah perguruan tinggi yang memberikan akses pendidikan dan
perhatian khusus pada difabel.
Perguruan Tinggi yang memberikan
akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang. Kedua universitas
tersebut tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan bagi teman-teman difabel
namun juga aktif sebagai pelopor dalam bidang penelitian, kajian, dan
pengabdian masyarakat kepada kaum difabel.
"Perguruan Tinggi yang
memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru Universitas Islam
Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Brawijaya, Malang"
Melalui pusat studi layanan
difabel atau yang biasa dikenal sebagai PSLD kedua universitas tersebut
bergerak mengawali pendidikan inklusi. Sangat disayangkan jika dari sekian
ratus perguruan tinggi di Indonesia, baru dua universitas yang mengawalinya.
Keterbukaan menjadi syarat utama jika sebuah perguruan tinggi menginginkan
menjadi inklusif. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan,
fasilitas belajar serta pusat bantuan bagi difabel mendukung setting inklusivitas.
Pembatasan hak difabel dengan
adanya persyaratan khusus masuk sebuah perguruan tinggi perlu kita tinjau
ulang. Bukankah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) mengamanatkan kalau setiap
warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu,
lebih lanjut lagi pada pasal 11, ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Jika undang-undang sudah mengamanatkan demikian bukan alasan lagi
bagi kita untuk menciptakan perguruan tinggi inklusif selanjutnya.
*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang