Minggu, 22 Februari 2015

Ya, Aku Dyslexia !


            Empat tahun di Taman Kanak-Kanak (TK) bukanlah waktu yang singkat buatku, disaat teman-temanku sudah masuk sekolah dasar (SD), aku masih sibuk bermain di TK, begitulah. Dua tahun disekolahkan dalam kondisi kelas yang berbeda dan dipisahkan dari teman-teman yang lain, membuatku bertanya kala itu, mengapa ? Katanya usiaku masih belia dan belum pantas masuk TK, jawaban salah seorang guruku yang ku ingat. saat usia 4 tahun, aku sudah dimasukkan ke TK oleh kedua orang tuaku. Saat itu, setiap harinya kakek selalu menemani dan menjagaku. Awal pertama masuk TK, aku masih sering menangis dan nggak mau ditinggal sama ibu, karena alasan pekerjaan akhirnya kakek yang menggantikan.
           
Aku sangat dekat dengan kakekku, setiap habis pulang sekolah aku selalu menunggu jemputan kakek di depan pintu gerbang sekolah. Sebelum pulang biasanya aku mampir dulu ke toko langganan kakek untuk membeli chiki atau wafer kesukaanku. Aku selalu dititipkan ke rumah kakek, selain menunggu ayah dan ibu pulang bekerja juga untuk menemani kakek yang tinggal sendiri. Kakekku juga membuka warung kelontong kecil-kecilan untuk mengisi waktu luang ditengah mengasuh cucunya, aku.
            Dekat dengan kakek membuatku mencintai seni. Semacam terapi saat masa kanak-kanakku mengalami keterlambatan perkembangan motorik. Entah kakek menyadari atau tidak atas apa yang dialami cucunya, kakek selalu rela meluangkan waktu lebih untuk cucunya. Bersama kakek aku biasa menggambar diberbagai media mulai dari buku gambar, papan tulis, tanah, lantai bahkan tembok. Tak bisa dibayangkan saat itu, gara-gara ulahku rumah kakek penuh dengan coretan spidol, crayon, kapur dan cat air.  Begitulah kakek.
          Usiaku pun makin bertambah, dua tahun dipisahkan dari kelas yang biasanya membuatku jenuh, dan benar saja aku pun menyatakan penolakan diriku karena bosan dengan sekolah. Setiap diantar ke sekolah, aku selalu menangis dan minta pulang saja. Atas saran salah seorang guruku, di tahun ketiga aku dibaurkan dengan anak-anak yang lain. Aku masih bingung sebenarnya apa yang terjadi denganku ? Apa salahku ?
           
Menurut penuturan salah seorang guruku, Budi kecil memang sangat ceria dan lincah, hanya saja kemampuan motoriknya belumlah seimbang, masih semaunya sendiri. Memang benar adanya, sikap ini ku tunjukkan pada kegiatan menggunting, menempel, menebalkan, menyambung, meronce, meniti balok, jujur aku mengalami kesulitan yang cukup berarti. Anehya tidak berlaku untuk kegiatan menggambar, kreativitasku bertumbuh liar di sana. Setiap kegiatan menggambar aku selalu bersemangat mengambil senjataku pensil warna kayu dan crayon. Guruku saat itu sampai heran, pensil warna dan crayon tempatku cepat sekali habis sampai aku harus pinjam ke teman sebelah. Melihat tingkahku ini akhirnya, aku diberi keleluasaan untuk membaawa peralatan menggambar sendiri dari rumah.
            Bu Tyas, selalu melaporkan progress perkembangan diriku. Imajinasi yang terlalu kuat membuat aku menang dalam aspek visual saja. Diperlukan penyeimbang agar nantinya semua aspek dapat tercapai. Kala itu masih sangatlah asing dengan istilah dyslexia dan banyak orang menganggap biasa saja sama seperti anak lainnya. Di luar dugaan itu, kakeku adalah sosok yang paling berjasa dan sangat tanggap dengan kondisiku. Mungkin karena sering berinteraksi dengan cucunya yang nakal ini, membuat kakek melakukan segenap upaya demi cucunya. Saat itulah, kakek menerapiku diam-diam dengan cara sendiri. Mula-mula kakek membelikanku bongkar pasang, tentu aku sangat senang dibelikan mainan baru. Kemudian berbagai macam puzzle yang bertemakan buah dan binatang. Permainan baru, lantas kegemaranku menggambar bagaimana ? Kakek sekarang banyak memberikan contoh padaku untuk menggambar bangun datar, menulis huruf dan angka, tentunya masih simple. Oh iya aku juga diberikan plastisin beraneka warna, saat itu aku mulai suka membentuk.
            Dulu aku sering salah saat memasukkan kancing seragam sekolah, susah untuk menalikan sepatu, oleh karenanya ibuku membelikan sepatu dengan perekat agar tidak kesusahan, tetapi justru sepatu ini sering lepas. Di tahun keempat saat TK, aku meminta dibelikan sepatu bertali. Saat itu aku mulai bisa memakai sepatu bertali dan seragam sekolah sendiri. Alhamdulillah, ditahun keempat aku mulai dicampur dengan kelas reguler, guruku mengatakan kalau terlalu lama di TK tidak baik bagi perkembangan si anak. Alasan lain karena usiaku sudah masuk 7 tahun kurang, sudah pantas masuk sekolah dasar (SD). Senangnya tidak dipisahkan lagi, semenjak aku masuk kelas reguler tak ada lagi pemisahan kelas. Bu Wati yang menangani khusus di kelas khusus pun mulai mengajar di kelas reguler tanpa berbagi lagi.
            Di kelas reguler, aku dibelajarkan lebih tinggi lagi. Dahulu, para orang tua menginginkan anaknya yang sekolah di TK bisa diterima di SD favorit. Memang, saat itu masih sangat jarang orang tua yang memasukkan anaknya ke TK terlebi dahulu, orang tua cenderung memilih memasukkan anaknya langsung ke SD tanpa TK. Di SD favorit kebanyakkan siswanya adalah jebolan TK yang sudah bisa membaca, berhitung dan berkarya. Ada sistem seleksi peserta didik didik di sana. Orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sebuah sekolah favorit di kotaku tanpa mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Usia 7 tahun itu menjadi syarat utama ketika ingin masuk ke sekolah favorit. Kembali lagi ke ceritaku di awal, waktu aku masuk di kelas reguler aku benar-benar merasakan penyeimbangan motorik dalam diriku. Sekarang tak ada kata lagi untuk tidak bisa menulis, menggunting, mencocokkan, mengeja, meronce, dan berhalang rintang. Pelan tapi pasti aku mulai bisa melakukan hal-hal tersebut meski belum sempurna.
            Andai kakekku tidak memperhatikanku, mungkin dyslexia ku akan terbawa sampai SD. Tapi syukur, pada tahun keempat di TK pun aku masih diberikan terapi oleh kakek. Semakin ulet saja kakek  mengajariku untuk menulis, mengeja dengan berbagai media visual dan bentuk sampai akhirnya Budi bisa menulis dan sedikit mengeja tanpa terbalik-balik. Masih ingat dibenakku, saat kakek mengajariku untuk berhitung, digunakannya lidi yang ditempeli gambar. Selain itu, keramik rumah kakek sering dicorat-coret untuk digambar anak tangga angka, di situ kakek mengajariku penjumlahan dan pengurangan sederhana. Senangnya kalau belajar sambil bermain seperti ini, kakek memang paham betul apa yang dibutuhkan cucunya.

            Saat perpisahan di TK, aku diminta untuk membacakan sebuah sajak tentang guru. Jujur ini merupakan kesempatan emas bagiku untuk menyajikan penampilan puisi tersebut di depan guru-guruku dan orang tua siswa. Aku tak menyangka, ternyata pembacaan sajak itu dilombakan. Aku mendapat juara 2 lomba membaca sajak pendek, senangnya bukan main saat menerima piala pertama dari sekolah. Ku tenteng piala tersebut ku tunjukkan pada bapak, ibu dan tentunya pada kakekku tersayang. Ku lihat tetesan air mata haru dari ibu, bapak dan lebih-lebih kakekku, Subhanalloh.
            Tamat dari TK, aku minta didaftarkan di SD favorit di kotaku. Ini adalah murni permintaan dariku, bukan paksaan dari ibu atau bapakku. Orang yang pertama kali khawatir padaku adalah kakek,  dia memikirkan apakah cucunya bisa lolos tes seleksi masuk SD tersebut. Kalaupun tidak semoga tak ada perasaan kecewa dan sedih dariku. Benar saja, Budi kecil sangat semangat untuk masuk SD favorit itu, ku ikuti seluruh rangkaian penerimaan tes seleksi masuk. Rangkaian tes seleksi masuk itu : menulis, menggambar, membaca, berhitung, menghafal, bernyanyi dan wawancara. Ku bilang ini tes seleksi SD paling panjang bagi usia yang baru tamat TK. Seminggu kemmudian, ibu menerima hasil pengumuman dari sekolah, hasilnya Budi Wicaksono dinyatakan lolos dan diterima menjadi siswa SD Negeri 1 Kebumen.
            Kesulitan yang ku alami saat itu, ku rasakan bukan sebagai sebuah kesulitan, namun sebagai anugerah khusus yang diberikan Allah SWT. Aku sadar kala itu, bukan orang tuaku tidak peduli denganku, tetapi karena memang terbatasnya informasi dan ruang diskusi dengan orang tua yang memiliki kebutuhan khusus. Bukan berarti orang tuaku sibuk mencari materi saja sehingga menitipkan begitu saja aku pada kakek, bukan itu. Kebutuhanku sangatlah banyak, tanpa bapak dan ibuku mana mungkin aku bisa minum susu kaleng, makan bergizi, membeli mainan, membeli crayon, spidol, pensil warna, cat air dsb. Karena mereka memahami apa yang dibutuhkan anaknya. Kakek yang begitu tanggap dengan kondisi yang dialami cucunya membuat aku bersyukur beruntungnya aku memiliki sosok kakek seperti beliau.
            Di Sekolah Dasar aku tak berdiam diri, dulu aku memang dyslexia, sekarang aku adalah Budi dengan bentukkan baru. Semangat itu masih ada, aku diikutsertakan dalam bimbingan menggambar bagi anak-anak khusus, bimbingan kelas membaca puisi. Tentu ini merupakan sebuah kebanggaan buatku. Selain itu aku rutin dikirim di berbagai lomba menggambar dan membaca puisi, Alhamdulillah ada hasilnya.
Terima kasih untuk ibu, bapak dan kakek yang sudah menghantarku sampai dengan sejauh ini..
-always smiling to inspire others                                                                 

2 komentar: