Dimuat Selasar.com
Kamis, 3 Desember 2015 | 15.00 WIB
Oleh : Budi Wicaksono*
Setiap tanggal 3 Desember selalu
diperingati sebagai Hari Difabel Internasional (HDI), dimana pada tanggal
tersebut negara seantero dunia memperingatinya sebagai wujud kepedulian dan perjuangan
kaum difabel dalam pemenuhan haknya, tak terkecuali Indonesia. Secara tegas
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan Resolusi Nomor A/61/106
tentang Convention on the Rights of
Persons with Disabilitiy (CRPD) yang memuat hak-hak kaum difabel dan
mengatur langkah-langkah untuk menjamin pelaksananaan konvensi tersebut.
Mengingat pentingnya penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM
bagi kaum difabel, pemerintah Indonesia pun menandatangani resolusi tersebut
pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Tentunya komitmen ini dibuktikan dengan
meratifikasi Konvensi tersebut dengan meratifikasi yang kemudian dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilitiy (Konvensi
Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dan telah disahkan pada 18 Oktober
2011. Regulasi hukum ini menjadi harapan bagi difabel di Indonesia untuk
mendapatkan keadilan, kesetaraan dan terbebas dari diskriminasi.
Meskipun
konvensi Internasional maupun dalam konstitusi Indonesia telah tegas
perlindungannya secara normatif, namun dalam kenyataannya, hak-hak kaum difabel
di Indonesia masih mengalami perlakuan diskriminatif serta ketidakadilan.
Difabel, Apa itu ?
Seiring
dengan perkembangan sejarah perubahan sosial dari masa ke masa, pemahaman orang
terhadap keberadaan penyandang cacat, kelompok berkebutuhan khusus, penyandang
ketunaan, difabel, penyandang disabilitas atau yang secara internasional
dikenal dengan disabled people atau persons with disability , atau istilah
lain yang dimaksudkan untuk merujuk pada subyek yang sama pun telah mengalami
banyak perubahan. Secara garis besar, ada beberapa konsep dalam perkembangan
sejarah perubahan sosial serta teori difabilitas yang cukup dominan. Pertama, pandangan medis/ individual
yang memandang kecacatan sebagai sebuah permasalahan individu. Kedua, konsepsi kecacatan sangat dekat
dengan paham normalisme yang didesain oleh para profesional medis dengan
standar-standar keilmuan secara sepihak. Ketiga,
konsepsi kecacatan dinilai tidak konsisten dengan nilai teologis yang
menempatkan manusis sebagai makhluk ciptaan yang memiliki derajat tertinggi
sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka Tuhan tidak pernah salah dengan
ciptaan-Nya. Melihat konsepsi kecacatan di atas, difabel (differently abled people) ditawarkan karena dipandang lebih mengakomodir
serangkaian kritik, di samping juga upaya mendekonstruksi gambaran negatif dari
konsepsi kecacatan atau penyandang cacat.
Penggunaan
istilah difabel mencoba melepaskan hubungan keterbatasan fungsi (fungsi atau
mental), hambatan aktivitas serta ketidakberuntungan sosial. Konsepsi ini juga
menggeser standar normalisme sebagai sebuah realitas. Lebih lanjut lagi
konsepsi tentang difabel tidak menempatkan satu kelompok sebagai yang inferior
dan yang lain sebagai superior. Istilah difabel secara obyektif dirasa lebih
adil dengan mengedepankan paengakuan atas keberbedaan dan bukan ketidakmampuan
atau kecacatan. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 mengatur penggunaan
istilah difabel di Indonesia.
Stigma Negatif
Masyarakat kita
masih memandang difabel sebagai sebuah aib besar karena difabel identik dengan
kecacatan yang disandangnya. Hal ini memicu prespektif masyarakat kalau difabel
merupakan seseorang yang potensial bermasalah dan sepenuhnya mengharap belas
kasihan dari orang lain. Stigma tersebut harus dirubah di masyarakat karena
sejatinya difabel jika mendapatkan layanan pendidikan dan informasi secara
tepat, maka potensi yang mereka miliki dapat berkembang secara optimal, perlu
disadari juga kalau keterbatasan secara fisik tidak akan menghapus dan
menghalangi hak mereka sebagai warga negara.
Menata Perjuangan Difabel
Upaya
melepaskan diri dari cara pandang masyarakat dan perlakuan yang diskriminatif
tak khayal melahirkan perlawanan dari kaum difabel. Dinamika perjuangan
kelompok difabel saat ini masih mudah dipecahbelah oleh berbagai kepentingan
dari luar. Salah satunya melalui model yang menjebak terbentuknya pola pikir
kaum difabel untuk selalu membuka tangan ke atas alias menjadi peminta belas
kasihan dari orang lain. Memang hal ini tidak hanya terjadi pada kelompok
difabel saja, kelompok miskin dan orang-orang yang sudah putus asa karena
sistem yang tidak menguntungkan pun memilih sikap yang sama.
Pendirian
usaha bersama secara serius dan masif untuk kelompok difabel dengan pasar
difabel yang jumlahnya jutaan orang sedikit membuka mata dan menjadi alat
perlawanan yang ampuh terhadap kebijakan yang tidak masuk akal. Jelas hal ini
merupakan bukti nyata program yang mampu menyelesaikan permasalahan difabel
terkait keterbatasan akses ataupun masalah ketenagakerjaan. Tentunya jika
perjuangan untuk memberikan kesejahteraan bagi sesama difabel, jiwa sukarela
diperlukan untuk keberhasilan program bersama. Gagasan-gagasan baru yang
kiranya dapat membangun kepentingan dan penyelesaian masalah difabel secara
intens harus didorong dengan pemikiran yang matang. Dengan saling mengapresiasi
dan menghargai dapat menjadi momentum utama dinamika kelompok difabel.
Mari kawal CRPD di Indonesia
Convention on the Rights of Persons with
Disability atau yang biasa kita kenal sebagai CRPD merupakan konvensi
mengenai hak difabel yang telah mendapat status legal penuh pada bulan Mei
2008. Negara-negara yang telah menandatangani konvensi ini harus melaporkan
setiap 4 tahun mengenai pemenuhan hak-hak difabel. Sebagaimana yang tertuang
dalam pasal 1 dalam konvensi ini yakni negara wajib memajukan, melindungi dan
menjamin pemenuhan secara menyeluruh dan seimbang semua hak-hak asasi manusia
dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang difabel untuk meningkatkan
penghormatan bagi martabat yang melekat pada mereka. Adapun pemenuhan hak-hak
difabel dalam berbagai aspek kehidupan yang termuat dalam CRPD antara lain :
1. Pendidikan Inklusif pada Pasal
24 CRPD
2. Kesehatan pada Pasal 25 CRPD
3. Kebebasan Berekspresi dan
Berpendapat, serta Akses Terhadap Informasi pada Pasal 21 CRPD
4. Pekerjaan dan Lapangan Kerja
pada Pasal 27 CRPD
5. Standar Kehidupan dan
Perlindungan Sosial Yang Layak pada Pasal 28 CRPD
6. Partisipasi Dalam Kehidupan
Politik dan Publik pada Pasal 29 CRPD.
Bagaimana
dengan negara kita, Indonesia ? Apakah negara kita konsisten dengan pemenuhan
hak difabel ini ? Sekali lagi ingat setiap 4 tahun negara wajib melaporkan
mengenai pemenuhan hak-hak difabel sebagai konsekuensi penandatanganan konvensi
ini benar-benar dilaksanakan. Empat tahun lalu tepatnya 18 Oktober 2011 pada
Sidang Paripurna DPR yang dihadiri seluruh fraksi dan Komisi VIII sepakat untuk
mengesahkan Convention on the Rights of
Persons with Disabilitiy (CRPD) sebagai undang-undang maka tiba saatnya di
tahun 2015 ini, pemerintah Indonesia melaporkan pelaksanaannya dan merefleksi
kembali hak-hak difabel apa yang belum terpenuhi, sudilah kiranya. Nothing about us without us. Selamat
Hari Difabel Internasional Tahun 2015.
https://www.selasar.com/budaya/refleksi-hari-difabel-internasional-2015
https://www.selasar.com/budaya/refleksi-hari-difabel-internasional-2015
*Mahasiswa Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar