***
Tiga puluh tahun tak terasa, ibu melanjutkan perjuangan embok untuk berjualan bunga di pasar.
Kebakaran, relokasi dan renovasi pasar menjadi saksi bisu perjalanan ibu berjualan
bunga. Bunga tabur untuk ziarah ke makam menjadi primadona para pembeli
kebanyakan. Tak hanya bunga, ibu menjajakan berbagai ramuan herbal atau jamu, wedak (bedak), minyak wangi dan kelengkapan
sripahan (orang meninggal).
Secara rutin ibu berjualan bunga di pasar tanpa libur.
Pagi-pagi sekali beliau sudah memasak dan mempersiapkan segala kebutuhan yang
diperlukan aku, adik dan ayahku. Kesibukaan ibu di setiap pagi sangatlah nampak
karena ayah harus berangkat pagi ke kantor, adik juga harus sekolah. Hal ini
memaksa ibu untuk bergerak cepat agar semua dapat terlayani. Bermodalkan sepeda
onthel, ibu memuliakan dirinya untuk
keluarga tanpa rasa mengeluh sedikit pun.
Setelah semua urusan rumah beres, ibu bergegas pergi ke
pasar untuk membuka lapak bunga sederhana miliknya. Terkadang ibu berangkat
siang hanya karena mengurusi urusan rumah yang tak selesai-selesai. Bagi ibu,
berangkat pagi ataupun siang ke pasar tidak menjadi masalah karena rezeki sudah
diatur oleh Allah SWT yang terpenting kewajiban sebagai seorang istri dan ibu
telah ditunaikan. Di pasar, ibu termasuk pedagang yang paling siang membuka
lapak bunganya dibandingkan pedagang serupa yang sudah buka sejak shubuh.
***
Lapak ibu berukuran 3 x 4 meter dan di lapak itulah ibu
memeras keringatnya di tengah harumnya semerbak bunga yang dijejer di atas penampan. “Crik, crik,
crik”, percikan air ibu percikkan ke bunga-bunga yang baru saja dijejer.
Aku sebagai seorang anak, bangga memiliki sosok ibu
seperti beliau. Meskipun bapak bekerja sebagai seorang pegawai negeri, namun
ibu tidak mau berpangku tangan begitu saja. Bagi ibu, berjualan bunga merupakan
usahanya untuk membantu bapak menghidupi keluarga. Selain itu, berjualan bunga merupakan
profesi turun temurun dari embok
dahulu. Mungkin karena cinta, ibu susah melepaskan profesi berjualan bunga ini.
Berkat ibu, aku dapat melanjutkan pendidikan sampai
tingkat universitas. Betapa kasih sayang ibu kurasakan tak terhingga, ibu rela menahan
dirinya untuk meminta kebutuhan yang neko-neko
pada bapak demi aku. Bapak diminta fokus membiayai pendidikan anak-anaknya,
sedangkan untuk masalah biaya hidup sehari-hari ibu rela menanggungnya.
Suatu kali, ibu menceritakan saat dirinya ditanya oleh
rekan bapak di kantor : “Bu, ibu ini kan istri pegawai, kenapa nggak
ikut-ikutan seperti istri pegawai yang lain?”. Aku terdiam dan berkaca-kaca
saat ibu menjawab :”Saya nggak punya apa-apa, dan tak terbiasa untuk hidup apa
adanya meskipun menjadi istri pegawai sekali pun, yang saya punya adalah anak,
dan usaha maksimal akan saya lakukan untuk anak-anak saya demi masa depan yang
lebih baik dari orang tuanya dahulu”.
Rasa kasih sayang ibu begitu lekat ku rasakan, dahulu
saat aku belum merantau kuliah, begitu dekatnya aku dan ibuku. Kami berdua
sering menghabiskan waktu bersama untuk sekadar ngobrol, makan bareng dan hang out. Tanpa rasa malu aku selalu
mengikuti kemana ibu pergi bahkan sampai sekarang. Ibu sangatlah sayang pada
aku dan adikku, permintaan-permintaan yang tidak dapat dipenuhi bapak, perlahan
tapi pasti ibu mewujudkannya. Ini yang menjadi alasan kuat ibu tidak akan
meninggalkan profesi berjualan bunga sampai akhir hayatnya.
Aku merindukan momen bersama dengan ibu, saat aku harus mengantarkan beliau ke pasar,
membantu membuka lapaknya, dan membantu berjualan bunga di pasar. Rasanya
senang dan bangga saat aku berjualan bersama ibu. Bukannya pamer, tapi saat ibu
ditanya oleh kawan-kawannya : “Putranya dimana sekarang, bu ?”. Terpancar binar
kebahagiaan saat ibu menjawab kalau anaknya sekarang sedang kuliah meski
dirinya hanya berjualan bunga dan tamatan SD.
Ibuku selalu mengajarkan ku untuk hidup apa adanya,
meskipun aku calon sarjana tetapi ilmu yang ku dapat tidak mampu menggantikan
pengorbanan serta cinta kasih tulus yang ibu berikan padaku. Ibu, anakmu Budi
Wicaksono kini tengah berjuang. Disetiap nafasmu doakan selalu berjuangan ini.
Aku sayang ibu...Untukmu ibuku Sri Sudaryati, pahlawan hidupku...kasih sayangmu
akan selalu harum di hati ini.
-
Budi Wicaksono -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar