BUDI WICAKSONO, PENGGAGAS
KOMUNITAS PEDULI DIFABEL
Budi –sapaan akrab pria bernama
lengkap Budi Wicaksono– adalah mahasiswa yang kini tengah menjalani studi di jurusan
Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang,
angkatan 2012. Dalam kehidupan sehari-hari, dia tampak biasa saja. Sebagai
mahasiswa, dia menjalani berbagai pembelajaran perkuliahan, aktif berorganisasi
di kampus, dan mengikuti kegiatan sosial. Di balik kesahajaannya, Budi memiliki
langkah besar dan perhatian mendalam terhadap para difabel. Kepedulian tersebut
diwujudkan melalui aksi nyata untuk kepentingan mereka.
Perkenalan dengan Difabel
Ketertarikan Budi terhadap
difabel berawal dari keikutsertaanya dalam Kongres Mahasiswa Keguruan dan Ilmu
Pendidikan se-Indonesia di Surakarta. Di sana, dia melihat banyak sekali
problem pendidikan di Indonesia. Salah satu masalah yang dikaji adalah
penyelenggaraan pendidikan khusus. Selain hadir sebagai peserta kongres, dia
juga diundang dalam acara deklarasi Solo sebagai kota inklusi dan ramah anak.
Hal itu menginspirasi pria kelahiran Kebumen, 25 September 1993, tersebut dalam
membuat sebuah gerakan untuk difabel di tanah rantau Semarang. Pergerakan Budi
dimulai dari kampus dengan menggagas komunitas peduli difabel. Awalnya,
komunitas itu difokuskan untuk kegiatan pengabdian di beberapa sekolah luar
biasa. Seiring berjalannya waktu, komunitas tersebut pun melayani mahasiswa
difabel yang berkuliah di Unnes.
”Latar belakang terjun ke
komunitas difabel adalah saya rasa tiada hidup yang sempurna. Setiap orang
memiliki kekurangan dan kelebihan. Tinggal bagaimana cara kita mensyukuri
pemberiaan Allah SWT. Salah satunya, berbagi dengan saudara-saudara kita yang
memiliki different ability sehingga mereka mendapat aksesibilitas,”
jelasnya.
Selain menggagas komunitas peduli
difabel di kampusnya, Budi yang kini tengah disibukkan jadwal kuliah semester
enam juga masih tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Kota
Semarang (Gerkatin Semarang). Gerkatin Semarang sangat aktif dalam
menyosialisasikan bahasa isyarat Indonesia (bisindo) yang dilaksanakan setiap
pelaksanaan car free day. Selain itu, Gerkatin Semarang menyelenggarakan
kegiatan pengabdian masyarakat dengan menjadi trainer (speaker) dalam
pelatihan difabel.
Meski sibuk menjadi aktivis, si
penyuka nasi goreng dan es teh tersebut sangat prestatif. Baru-baru ini, Budi
masuk jajaran finalis mahasiswa berprestasi FIP Unnes dan meraih juara IV.
Bahkan, makalah yang dia presentasikan tetap berkaitan dengan difabel. Dia
mengangkat tema Media Pembelajaran untuk
Menyosialisasikan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) kepada
Teman-Teman Tunarungu. Sederet prestasi lain pun pernah ditorehkan Budi. Di
antaranya, juara II lomba menulis esai blog Temu Inklusi dalam rangka
Hari Difabel Internasional yang diselenggarakan Sasana Integrasi dan Advokasi
Difabel (Sigab) Yogyakarta. Dalam lomba itu, dia mengangkat isu menggagas
kampus inklusi. Dia beberapa kali didaulat untuk mengisi atau menjadi trainer dalam
pelatihan yang diperuntukkan bagi kaum difabel di beberapa sekolah luar biasa
(SLB). Dia juga merupakan salah seorang yang suratnya lolos dikirim ke NTT
dengan inspirasi perjuangan difabel pada program Surat Untuk Adik (SUA) dari
Youth’s Act for Indonesia (YAFI). Baru-baru ini, Budi bergabung dalam 50
mahasiswa inspirasi muda dan berkarya Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada
bidang kajian difabel.
Meski menimba ilmu di tanah
rantau dan aktif dalam berbagai komunitas di Semarang, Budi yang menghabiskan
masa tumbuh usianya di Jalan Pemuda, Gang Mawar 10 B, RT 4, RW 3, Kebumen,
tidak lantas melupakan tanah kelahirannya. Baru-baru ini, dia mengajar bisindo
di komunitas difabel yang bernama Komunitas Difa. ”Saya terdorong mengajar
bisindo di Komunitas Difa beberapa minggu lalu. Sebab, sejauh ini, belum ada
sosialisasi penggunaan bisindo kepada masyarakat umum untuk berkomunikasi
dengan penyandang tunarungu,” jelas Budi. Masalah itu disebabkan minimnya
informasi tentang bahasa isyarat Indonesia. Padahal, komunitas difabel
sewajarnya mengetahui penggunaan bisindo. Sebab, komunitas difabel menjadi awal
mula pergerakan untuk difabel.
Komunitas difabel di Kebumen
kurang masif dalam menyuarakan perjuangan dan pergerakan difabel. Hal tersebut
disebabkan minimnya sumber belajar dan terbatasnya sumber daya manusia yang
peduli dan terjun ke dunia difabel. Di kota lain, sudah tumbuh kesadaran untuk
menggerakkan isu difabel dari penggerak-penggerak muda. Masalahnya, penggerak
muda di Kebumen cenderung diam dan masih enggan menyuarakan isu itu. Ibu Iin –founder Komunitas
Difa Kebumen– menyatakan, komunitas difabel di Kebumen hanya beranggota orang
tua yang memiliki anak difabel. Mereka berkumpul untuk saling menguatkan satu
sama lain tanpa adanya konsep kajian atau bahasan setiap kali berkumpul. Di
kota lain, banyak sekali kaum muda yang merelakan waktunya untuk ikut
menggerakkan isu difabel.
Harapan terbesar Budi untuk
komunitas difabel di Kebumen adalah mampu menjadi motor penggerak dalam
memasifkan isu difabel. Dengan begitu, keberadaan kaum difabel di Kebumen dapat
diakui dan mereka bisa mendapatkan hak-haknya. Komunitas difabel di Kebumen juga
diharapkan dapat menggugah masyarakat umum dengan prespektif yang lebih
terbuka. Yaitu, masyarakat mau menerima keberadaan difabel dalam interaksi
sosial. Dia berharap teman-teman muda di Kebumen ikut ambil bagian dalam
membesarkan komunitas difabel yang sudah digawangi Ibu Iin. Salah satu caranya
adalah dengan mengadakan kegiatan yang bermanfaat bagi difabel di Kebumen.
”Nantinya, saya siap berbagi ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan di
perantauan dengan kaum muda di Kebumen. Saya juga siap mengadakan kajian-kajian
isu difabel dan pelatihan untuk difabel bersama Komunitas Difa di Kebumen. Saya
berharap adanya komunitas difabel di Kebumen dapat memfasilitasi kebutuhan
aksesibilitas difabel dalam menggagas Kebumen sebagai kabupaten yang ramah
difabel,” ucapnya.
Pria yang memiliki hobi melukis,
membaca, membaca puisi, dan menulis itu saat kecil bercita-cita menjadi
arsitek. Seiring berjalannya waktu, dia menemukan apa yang menjadi fokus dan
perhatiannya. Dia pun berharapan bisa mengembangkan model pembelajaran yang
ramah bagi difabel. Kepada redaksi kebumenmuda.com, Budi menuturkan bahwa
selama ini dirinya memiliki tokoh inspirasi. Yaitu, Ibu Een Sukaesih, guru
qalbu yang mampu mengajar dengan segala keterbatasan. ”Yang beliau lakukan
membuat saya kagum dan ingin menerapkan hal tersebut ketika saya menjadi
pendidik,” tuturnya.
Di akhir perbincangan, Budi
menyerukan slogan yang selama ini dia tulis. “Nothing about us without us”merupakan slogan perjuangan dan
pergerakan difabel. Slogan tersebut memiliki filosofi yang sangat dalam. Yaitu,
tentang diakui atau tidaknya para difabel saat mereka terlibat dalam sebuah
kegiatan. Karena itu, difabel perlu diberi kesempatan dan keterlibatan untuk
berinteraksi dalam kehidupannya.
”Makna kekuatannya dalam banget
bagi saya. Kalimat tersebut mampu menjadi mantra agar aku tetap konsisten dan
mampu berbuat lebih untuk difabel,” katanya.