Oleh : Budi
Wicaksono*
Pada
musim pendaftaran mahasiswa baru seperti saat ini, entah itu Seleksi Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) maupun Seleksi Masuk Bersama Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN) sedikit orang memperhatikan persyaratan khusus yang tertera
dalam website pendaftaran mahasiswa baru. Apakah kita tidak menyadari kalau
adanya persyaratan khusus seperti tidak tunanetra, tunarungu, tunadaksa jika
menghendaki memilih sebuah jurusan di perguruan tinggi tertentu secara tidak
langsung adalah bentuk diskriminasi secara halus terhadap teman-teman different ability people (difabel). Bagi
kebanyakan orang normal seperti kita tidak menjadi masalah yang berarti, namun
bagi teman-teman yang memiliki special
need hal tersebut membuat mereka pesimis atas mimpi dan cita-cita mereka
karena tidak adanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka secara
tidak langsung terfilter oleh sistem tersebut dari awal.
Negara dengan jumlah penduduk mencapai kurang lebih dua ratus tiga puluh juta jiwa ini belum memiliki data yang akurat untuk jumlah difabel. UCP Roda untuk kemanusiaan memperkirakan jumlah difabel di Indonesia mencapai 10% dari total populasi penduduk. Untuk jumlah anak-anak difabelnya sendiri mencapai 6,4 juta jiwa, mirisnya hanya sekitar 50.000 dari mereka yang dapat bersekolah. Tentunya jika situasi ini tidak berubah, bagaiaman nasib difabel Indonesia ke depannya ? Apakah mereka dapat berdaya ?
Pemerintah
sebenarnya telah melakukan langkah berarti terhadap pemenuhan hak-hak difabel
dalam bidang pendidikan dengan meratifikasi konvensi hak-hak difabel. Dalam
pasal 24 konvensi hak-hak difabel tentang pendidikan disebutkan setiap anak
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah formal.
Salah jika kita menghambat difabel untuk memperoleh pendidikan atas alasan
difabilitasnya yang dia sandang. Perlu digarisbawahi tidak semestinya setiap
difabel belajar di sekolah khusus. Mereka mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan dan bersekolah di sekolah yang dekat dengan lingkungan
mereka, bersama dengan kawan sebaya, sepermainan tentunya dengan setting pendidikan yang inklusif.
Setting pendidikan inklusif yang
mentransformasikan sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang
dapat menghalangi peserta didik untuk berpartisipasi penuh memberikan
kesempatan kepada difabel untuk memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Adanya
sekolah inklusi pada jenjang SD / MI , SMP / MTs, dan SMA / SMK / MA
membuktikan adanya komitmen dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan
inklusif. Sayangnya, setelah lulus dari jenjang tersebut teman-teman difabel
sering dibenturkan pada pilihan sulit yakni bekerja, menganggur atau
melanjutkan studi. Bagi teman-teman difabel yang ingin melanjutkan studi harus
menjadi bahan pertimbangan karena masih terbatasnya jumlah perguruan tinggi
yang memberikan akses pendidikan dan perhatian khusus pada difabel.
Perguruan
Tinggi yang memberikan akses pendidikan bagi difabel di Indonesia baru
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas
Brawijaya, Malang. Kedua universitas tersebut tidak hanya memberikan pelayanan
pendidikan bagi teman-teman difabel namun juga aktif sebagai pelopor dalam
bidang penelitian, kajian, dan pengabdian masyarakat kepada kaum difabel. Melalui
pusat studi layanan difabel atau yang biasa dikenal sebagai PSLD kedua
universitas tersebut bergerak mengawali pendidikan inklusif. Sangat disayangkan
jika dari sekian ratus perguruan tinggi di Indonesia, baru dua universitas yang
mengawalinya. Keterbukaan menjadi syarat utama jika sebuah perguruan tinggi
menginginkan menjadi inklusif. Selain itu, penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan, fasilitas belajar serta pusat bantuan bagi difabel mendukung setting inklusivitas.
Pembatasan
hak difabel dengan adanya persyaratan khusus masuk sebuah perguruan tinggi
perlu kita tinjau ulang. Bukankah dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) mengamanatkan kalau setiap warga negara
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, lebih lanjut
lagi pada pasal 11, ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Jika
undang-undang sudah mengamanatkan demikian bukan alasan lagi bagi kita untuk
menciptakan perguruan tinggi inklusif selanjutnya.
*Mahasiswa Jurusan
Teknologi Pendidikan Angkatan 2012
Fakultas Ilmu Pendidikan
Aktif dalam Difable Care Community