Empat
tahun di Taman Kanak-Kanak (TK) bukanlah waktu yang singkat buatku, disaat
teman-temanku sudah masuk sekolah dasar (SD), aku masih sibuk bermain di TK,
begitulah. Dua tahun disekolahkan dalam kondisi kelas yang berbeda dan dipisahkan
dari teman-teman yang lain, membuatku bertanya kala itu, mengapa ? Katanya
usiaku masih belia dan belum pantas masuk TK, jawaban salah seorang guruku yang
ku ingat. saat usia 4 tahun, aku sudah dimasukkan ke TK oleh kedua orang tuaku.
Saat itu, setiap harinya kakek selalu menemani dan menjagaku. Awal pertama
masuk TK, aku masih sering menangis dan nggak mau ditinggal sama ibu, karena
alasan pekerjaan akhirnya kakek yang menggantikan.
Aku
sangat dekat dengan kakekku, setiap habis pulang sekolah aku selalu menunggu
jemputan kakek di depan pintu gerbang sekolah. Sebelum pulang biasanya aku
mampir dulu ke toko langganan kakek untuk membeli chiki atau wafer kesukaanku.
Aku selalu dititipkan ke rumah kakek, selain menunggu ayah dan ibu pulang
bekerja juga untuk menemani kakek yang tinggal sendiri. Kakekku juga membuka
warung kelontong kecil-kecilan untuk mengisi waktu luang ditengah mengasuh
cucunya, aku.
Dekat
dengan kakek membuatku mencintai seni. Semacam terapi saat masa kanak-kanakku
mengalami keterlambatan perkembangan motorik. Entah kakek menyadari atau tidak
atas apa yang dialami cucunya, kakek selalu rela meluangkan waktu lebih untuk
cucunya. Bersama kakek aku biasa menggambar diberbagai media mulai dari buku
gambar, papan tulis, tanah, lantai bahkan tembok. Tak bisa dibayangkan saat
itu, gara-gara ulahku rumah kakek penuh dengan coretan spidol, crayon, kapur
dan cat air. Begitulah kakek.
Usiaku
pun makin bertambah, dua tahun dipisahkan dari kelas yang biasanya membuatku
jenuh, dan benar saja aku pun menyatakan penolakan diriku karena bosan dengan
sekolah. Setiap diantar ke sekolah, aku selalu menangis dan minta pulang saja.
Atas saran salah seorang guruku, di tahun ketiga aku dibaurkan dengan anak-anak
yang lain. Aku masih bingung sebenarnya apa yang terjadi denganku ? Apa salahku
?
Menurut
penuturan salah seorang guruku, Budi kecil memang sangat ceria dan lincah,
hanya saja kemampuan motoriknya belumlah seimbang, masih semaunya sendiri.
Memang benar adanya, sikap ini ku tunjukkan pada kegiatan menggunting,
menempel, menebalkan, menyambung, meronce, meniti balok, jujur aku mengalami
kesulitan yang cukup berarti. Anehya tidak berlaku untuk kegiatan menggambar,
kreativitasku bertumbuh liar di sana. Setiap kegiatan menggambar aku selalu
bersemangat mengambil senjataku pensil warna kayu dan crayon. Guruku saat itu
sampai heran, pensil warna dan crayon tempatku cepat sekali habis sampai aku
harus pinjam ke teman sebelah. Melihat tingkahku ini akhirnya, aku diberi
keleluasaan untuk membaawa peralatan menggambar sendiri dari rumah.
Bu
Tyas, selalu melaporkan progress perkembangan diriku. Imajinasi yang terlalu
kuat membuat aku menang dalam aspek visual saja. Diperlukan penyeimbang agar
nantinya semua aspek dapat tercapai. Kala itu masih sangatlah asing dengan
istilah dyslexia dan banyak orang
menganggap biasa saja sama seperti anak lainnya. Di luar dugaan itu, kakeku
adalah sosok yang paling berjasa dan sangat tanggap dengan kondisiku. Mungkin
karena sering berinteraksi dengan cucunya yang nakal ini, membuat kakek
melakukan segenap upaya demi cucunya. Saat itulah, kakek menerapiku diam-diam
dengan cara sendiri. Mula-mula kakek membelikanku bongkar pasang, tentu aku
sangat senang dibelikan mainan baru. Kemudian berbagai macam puzzle yang bertemakan buah dan
binatang. Permainan baru, lantas kegemaranku menggambar bagaimana ? Kakek
sekarang banyak memberikan contoh padaku untuk menggambar bangun datar, menulis
huruf dan angka, tentunya masih simple.
Oh iya aku juga diberikan plastisin beraneka warna, saat itu aku mulai suka
membentuk.
Dulu
aku sering salah saat memasukkan kancing seragam sekolah, susah untuk menalikan
sepatu, oleh karenanya ibuku membelikan sepatu dengan perekat agar tidak
kesusahan, tetapi justru sepatu ini sering lepas. Di tahun keempat saat TK, aku
meminta dibelikan sepatu bertali. Saat itu aku mulai bisa memakai sepatu
bertali dan seragam sekolah sendiri. Alhamdulillah,
ditahun keempat aku mulai dicampur dengan kelas reguler, guruku mengatakan
kalau terlalu lama di TK tidak baik bagi perkembangan si anak. Alasan lain
karena usiaku sudah masuk 7 tahun kurang, sudah pantas masuk sekolah dasar
(SD). Senangnya tidak dipisahkan lagi, semenjak aku masuk kelas reguler tak ada
lagi pemisahan kelas. Bu Wati yang menangani khusus di kelas khusus pun mulai
mengajar di kelas reguler tanpa berbagi lagi.
Di
kelas reguler, aku dibelajarkan lebih tinggi lagi. Dahulu, para orang tua
menginginkan anaknya yang sekolah di TK bisa diterima di SD favorit. Memang,
saat itu masih sangat jarang orang tua yang memasukkan anaknya ke TK terlebi
dahulu, orang tua cenderung memilih memasukkan anaknya langsung ke SD tanpa TK.
Di SD favorit kebanyakkan siswanya adalah jebolan TK yang sudah bisa membaca,
berhitung dan berkarya. Ada sistem seleksi peserta didik didik di sana. Orang
tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sebuah sekolah favorit di kotaku tanpa
mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Usia 7 tahun itu menjadi
syarat utama ketika ingin masuk ke sekolah favorit. Kembali lagi ke ceritaku di
awal, waktu aku masuk di kelas reguler aku benar-benar merasakan penyeimbangan
motorik dalam diriku. Sekarang tak ada kata lagi untuk tidak bisa menulis,
menggunting, mencocokkan, mengeja, meronce, dan berhalang rintang. Pelan tapi
pasti aku mulai bisa melakukan hal-hal tersebut meski belum sempurna.
Andai
kakekku tidak memperhatikanku, mungkin dyslexia ku akan terbawa sampai SD. Tapi
syukur, pada tahun keempat di TK pun aku masih diberikan terapi oleh kakek. Semakin
ulet saja kakek mengajariku untuk
menulis, mengeja dengan berbagai media visual dan bentuk sampai akhirnya Budi
bisa menulis dan sedikit mengeja tanpa terbalik-balik. Masih ingat dibenakku,
saat kakek mengajariku untuk berhitung, digunakannya lidi yang ditempeli gambar.
Selain itu, keramik rumah kakek sering dicorat-coret untuk digambar anak tangga
angka, di situ kakek mengajariku penjumlahan dan pengurangan sederhana.
Senangnya kalau belajar sambil bermain seperti ini, kakek memang paham betul
apa yang dibutuhkan cucunya.
Saat
perpisahan di TK, aku diminta untuk membacakan sebuah sajak tentang guru. Jujur
ini merupakan kesempatan emas bagiku untuk menyajikan penampilan puisi tersebut
di depan guru-guruku dan orang tua siswa. Aku tak menyangka, ternyata pembacaan
sajak itu dilombakan. Aku mendapat juara 2 lomba membaca sajak pendek,
senangnya bukan main saat menerima piala pertama dari sekolah. Ku tenteng piala
tersebut ku tunjukkan pada bapak, ibu dan tentunya pada kakekku tersayang. Ku
lihat tetesan air mata haru dari ibu, bapak dan lebih-lebih kakekku, Subhanalloh.
Tamat
dari TK, aku minta didaftarkan di SD favorit di kotaku. Ini adalah murni
permintaan dariku, bukan paksaan dari ibu atau bapakku. Orang yang pertama kali
khawatir padaku adalah kakek, dia memikirkan
apakah cucunya bisa lolos tes seleksi masuk SD tersebut. Kalaupun tidak semoga
tak ada perasaan kecewa dan sedih dariku. Benar saja, Budi kecil sangat
semangat untuk masuk SD favorit itu, ku ikuti seluruh rangkaian penerimaan tes
seleksi masuk. Rangkaian tes seleksi masuk itu : menulis, menggambar, membaca,
berhitung, menghafal, bernyanyi dan wawancara. Ku bilang ini tes seleksi SD
paling panjang bagi usia yang baru tamat TK. Seminggu kemmudian, ibu menerima
hasil pengumuman dari sekolah, hasilnya Budi Wicaksono dinyatakan lolos dan
diterima menjadi siswa SD Negeri 1 Kebumen.
Kesulitan
yang ku alami saat itu, ku rasakan bukan sebagai sebuah kesulitan, namun
sebagai anugerah khusus yang diberikan Allah SWT. Aku sadar kala itu, bukan
orang tuaku tidak peduli denganku, tetapi karena memang terbatasnya informasi
dan ruang diskusi dengan orang tua yang memiliki kebutuhan khusus. Bukan
berarti orang tuaku sibuk mencari materi saja sehingga menitipkan begitu saja
aku pada kakek, bukan itu. Kebutuhanku sangatlah banyak, tanpa bapak dan ibuku
mana mungkin aku bisa minum susu kaleng, makan bergizi, membeli mainan, membeli
crayon, spidol, pensil warna, cat air dsb. Karena mereka memahami apa yang
dibutuhkan anaknya. Kakek yang begitu tanggap dengan kondisi yang dialami
cucunya membuat aku bersyukur beruntungnya aku memiliki sosok kakek seperti
beliau.
Di
Sekolah Dasar aku tak berdiam diri, dulu aku memang dyslexia, sekarang aku
adalah Budi dengan bentukkan baru. Semangat itu masih ada, aku diikutsertakan
dalam bimbingan menggambar bagi anak-anak khusus, bimbingan kelas membaca
puisi. Tentu ini merupakan sebuah kebanggaan buatku. Selain itu aku rutin
dikirim di berbagai lomba menggambar dan membaca puisi, Alhamdulillah ada hasilnya.
Terima kasih untuk ibu, bapak dan
kakek yang sudah menghantarku sampai dengan sejauh ini..
-always smiling to inspire others